Gunung Merapi meletus.
Letusannya mengundang banyak tafsir. Di balik itu, Gunung Slamet dan
Gunung Dieng di Jawa Tengah berstatus waspada. Juga Gunung Bromo dan
Gunung Semeru di Jawa Timur. Tanda apakah gerangan?
Inilah kalkulasi mistik soal itu. Boleh percaya boleh tidak, tapi inilah
kepercayaan sebagian masyarakat Jawa. Jika tidak percaya anggap ini
bagian dari pengetahuan tentang budaya. Namun kalau percaya, begitulah
nenek-moyang manusia Jawa melihat jaman ke depan melalui tanda-tanda.
Dalam keyakinan Jawa, tertib jagat sangat penting. Itu dalil aksioma.
Alam dan manusia ciptaanNya, dan satu serta yang lain tidak boleh
mengganggu, gangguan bersifat destruktif. Sebab jika satu terganggu yang
lain krodit. Dan kroditisitas itu bersifat cakramanggilingan. Berlaku
asas roda pedati yang berputar. Pengganggu akan terganggu dan kena
ganggu.
Dalam menggambarkan tertib dunia itu, manusia Jawa memampangkan melalui
sketsa kuasa dan keraton. Keraton ini bisa ditafsir sebagai kerajaan
atau negara. Keraton pertama disebut sebagai Keraton Manusia yang
diperintah manusia. Keraton kedua adalah Keraton Api yang berupa
gunung-gunung berapi. Dan keraton ketiga adalah Keraton Laut yang
kekuasaannya di lautan.
Jika Keraton Manusia bisa ditafsir penguasanya sekarang adalah Sultan
Hamengkubuwono X atau Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik
Indonesia yang bisa berganti-ganti, maka Kraton Api justru lebih
permanen. Juga sinyal mistik yang ditangkap darinya.
Kraton Api ini dalam keyakinan itu terbagi dalam tiga grade. Grade
pertama dipandegani trah Mataram dan trah Majapahit. Trah Mataram itu
diidentifikasi manjing (tinggal) di Gunung Merapi. Itu tersurat jelas
dalam babad, saat Pajang menyerang Mataram, Panembahan Senopati berbagi
tugas dengan Ki Juru Martanu, dan Gunung Merapi meletus membinasakan
pasukan Pajang (de Han & de Graff).
Sedang trah Majapahit manjing di Gunung Lawu. Itu bisa dirujuk dari
keyakinan mokswa-nya Raja Brawijaya di Alang-Alang Kumitir di Candi
Cetho, Jenawi, dan bukti sejarah Candi Sukuh sebagai area ritus sang
raja sehabis lengser keprabon dan madeg pandhito. (Turun tahta sebagai
raja dan menjadi pendeta).
Kelak ketika Islam kian subur menjamur di Tanah Jawa, maka Gunung Lawu
mendapat sebutan baru sebagai areanya Sunan Lawu, yang konotasinya sama,
mimikri Brawijaya. Untuk apologia mitos ini, maka dalam serat
digambarkan bagaimana prosesi Brawijaya masuk Islam yang tidak disetujui
Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Brawijaya. Juga
diikuti ancaman 'Sang Raja Demit' ini kelak membinasakan Tanah Jawa di
lima ratus tahun sejak Brawijaya jadi mualaf. Padahal sejarah mencatat,
Brawijaya wafat dan diperabukan di Candi Brahu.
Grade kedua adalah Keraton Api sekadar sebagai tanda. Gunung yang
berfungsi seperti ini adalah Gunung Slamet yang bertindak sebagai
tetenger (tanda) adanya kebaikan. Gunung Dieng sebagai tetenger
nikmatnya mereka yang melakukan kebaikan yang disimbolisasikan dengan
Istana Kahyangan. Dan Gunung Bromo sebagai tetenger penggembira. Amuk
akan tambah njegadrah (berkobar-kobar) jika Gunung Merapi meletus
diikuti dengan letusan Gunung Bromo. Kalau ini terjadi, maka dalam
keyakinan Jawa ada kemungkinan suksesi di Tanah Jawa terrealisasi.
Sedang grade ketiga adalah Kraton Api sebagai kekuatan konstruktif,
pinandito, dan gunung sepuh (tua). Gunung yang masuk kategori ini adalah
Gunung Kelud yang berada di wilayah Kediri dan Blitar. Gunung ini
diyakini sebagai manjing Raja Jayabaya yang akan datang di akhir jaman
yang dijemput senopati Tunggul Wulung.
Nama ini acap dikaitkan dengan Kristenisasi di daerah Mojowarno. Tokoh
asal Pati sebagai cikal-bakal Kristen Jawi Wetan itu menyebut dirinya
Kiai Tunggul Wulung yang kelak melahirkan Kiai Sadrach (1835) yang
mengamalkan sinkretisme Kristen. Dia merasa terdapat kemiripan antara
Nabi Isa dan Raja Jayabaya, serta melakukan dakwah itu setelah turun
dari bertapa di Gunung Kelud (van Akkeren).
Gunung lain yang masuk klasifikisai gunung tua adalah Semeru. Gunung ini
simbol kearifan, kesaktian, dan peredam gejolak amarah. Gunung Semeru
diyakini tempat bertapanya Semar. Tokoh wayang ini merupakan
personifikasi orang Jawa yang sempurna. Berwatak rendah hati, sederhana,
ikhlas menerima suratan miskin, hidup di desa, tapi punya kewaskitaan
dan kesaktian luar biasa. Ini senjata pamungkas kalau sewaktu-waktu
dinista dan dizalimi penguasa.
Sedang Kraton Laut diperintah perempuan dengan nama bervariasi tetapi
satu. Ada yang menyebut Dewi Lanjar, Nyi Ratu Kidul, Nyi Roro Kidul,
atau Nyi Loro Kidul. Dalam mitos tokoh ini dekat dengan Mataram. Konon
pernah bertemu dengan Panembahan Senopati di Parang Kusumo, pernah sua
dengan Sunan Kalijogo di Gua Langse, dan bercinta dengan Sultan Agung
sambil mengitari dunia.
Namun itu semua hanyalah simbol. Ekspresi dari keyakinan Jawa tentang
sangkan-paraning dumadi. Tentang asal dan akhir manusia. Dari pertemuan
lingga (kemaluan laki-laki disimbolkan gunung) dan yoni (kemaluan
perempuan disimbolkan lautan) menjadi embrio, lahir, hidup, dan kelak
kembali ke asal tanah (serat wirid hidayat jati). Namun simbol-simbol
yang sangat filosofis itu inheren terkandung perspektif kejadian yang
akan datang. Tertib dunia yang konotasinya harmoni merupakan pakem soal
itu. Artinya, sebelum amuk laut dan amuk gunung ini mereda, masih akan
ada amuk pamungkasnya. Itu adalah amuk di jagat manusia.
Berdasar kepercayaan itu, maka hari ini dan hari-hari yang akan datang
suasana panas akan melanda negeri ini. Keributan rentan tersulut.
Manusia gampang terpancing emosi. Perselisihan diselesaikan melalui adu
phisik. Dan dari sisi politik, rebut kekuasaan, perang intrik dan fitnah
tak terhindarkan. Ritme ini terus meninggi sampai semuanya reda
kembali. Lahir kembali harmonisasi Kraton Laut, Kraton Api, dan Kraton
Manusia. Namun jika Gunung Merapi bertahan dengan letusannya sekarang
disusul letusan Gunung Bromo, gunung-gunung lain di luar Jawa dan
diimbangi dengan tenangnya Gunung Semeru, Gunung Dieng, Gunung Slamet,
dan Gunung Kelud, maka ini yang sangat bahaya bagi ketentraman negeri
ini. Sebab situasinya akan chaostis yang mungkin saja disusul suksesi.
Dan sebagai penutup, sekarang kita amati pergerakan amuk gunung yang
puluhan berstatus waspada itu. Kita cocokkan prediksi serat-serat kuno
itu masih mempunyai relevansi atau tidak sambil introspeksi diri agar
tidak terpancing emosi. Selain itu, kita juga jangan terlalu percaya
dengan suratan ini. Sebab hakekatnya para pujangga yang menuliskan itu
sedang mengamalkan sastra puja. Suratan metafisis untuk menambah spirit
sang raja.
Mari kita lihat, pantau, dan renungkan berbagai bencana yang sedang melanda negeri ini. Tentu, sambil berdoa.
reposting dari detik.
kolom budaya yg dibuat oleh DJOKO SUUD.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
pertamax!! :D
ReplyDelete