Jaman dahulu di Yogya terdapat satu toko milik orang Jepang, yaitu toko Fuji yang terletak di Jl. Malioboro. Mungkin toko tersebut adalah toko double bisnis, sepintas lalu berjualan untuk melayani kebutuhan masyarakat, akan tetapi dibalik itu juga dipakai sebagai kegiatan spionase Jepang untuk kepentingan persiapan penjajahan.
Pada saat itu Ki Ageng sudah mempunyai tempat-tempat yang dikunjungi secara tetap sebagai pos untuk praktek melayani masyarakat. Salah satu dari tempat tersebut adalah rumah pak Karto di jl. Ngadisuryan. Pada suatu waktu dirumah Pak Karto banyak dikerumuni orang yang asik mendengarkan pembicaraan ki Ageng dengan seorang Jepang pemilik toko Fuji. Rupanya Ki Ageng ingin memberi bukti kebisaannya kepada tamunya tersebut. Ki Ageng meminta kepada toke toko Fuji mengadu kecepatan mengambil barang. Kepada tamunya dipersilahkan mengambil teko milik tamunya (orang Jepang tersebut) dimana saja. Tetapi oleh tamunya dijawab bahwa kedatangannya di Yogyakarta tidak membawa teko, kalau punya itu juga ada di negerinya di Jepang. Tetapi Ki Ageng tetap saja mengajak bertanding. Dengan terpaksa akhirnya diterima juga tantangan Ki Ageng tersebut.
Dalam batin orang Jepang ingin menguji kebenaran pertandingan seperti anak kecil ini, padahal maksud utamanya adalah ingin mendekati dan mempelajari kewibawaan serta potensi Ki Ageng Prawira Purba tersebut. Sekedar memenuhi ajakan sang Jepang pun berlalu menuju ke Jl. Tukangan 17 untuk mengambil teko milik Ki Ageng. Dirumah Ki Ageng tersebut diambillah teko milik Ki Ageng dan segera dibawa ke Ngadisuryan untuk membuktikan membawa barang yang dipertaruhkan. Si orang Jepang tersebut merasa dipermainkan karena dia sudah mengambilkan teko Ki Ageng dirumahnya sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki satupun teko di toko Fuji di Yogyakarta. Akan tetapi saat dirinya tiba di Ngadisuryan, terkejutlah dirinya karena dilihatnya Ki Ageng sedang menghadap satu stel teko. Ditengah keterkejutannya tersebut, si orang Jepang menanyakan kepada Ki Ageng milik siapakah teko tersebut? Jawab Ki Ageng silahkan diperiksa denganteliti dan betul, siapa pemiliknya anda pasti tahu. Semakin lama diteliti, diperiksa berulang-ulang semakin lama dari perasaan argu-ragu berubah menjadi perasan kagum. Bahwa teko tersebut adalah benar-benar miliknya yang berada di Jepang dan diapun mengakui bahwa Ki Ageng memang benar-benar orang yang istimewa karena mampu mendatangkan teko miliknya dalam waktu yang singkat.
Pengamen yang celaka
Alkisah di desa Turen Cebongan Sleman terdapat dua bersaudara bernama Widikucir dan Cermo, keduanya merupakan anak dari dalang bernama Kyai Warak. Karena memilik darah seni dari orang tuanya maka kedua bersaudara tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pengamen.
Pada suatu hari Cap Go Meh kedua bersaudara tersebut melakukan perjalanan mengamen keliling terutama ke rumah-rumah keturunan Cina. Hari itu keduanya beruntung mendapat borongan bermain topeng dirumah seorang keturunan Cina di daerah Kricak. Permainan topeng tersebut sudah demikian matang bagi dua bersaudara tersebut sehingga mampu merebut hati para penonton. Selesaimbermain keduanya beristirahat dipinggir jalan sambil menghitung perolehan hari itu. Selagi keduanya asyik menghitung uang, tiba tiba dari jauh datang Ki Ageng Prawira Purba dari arah selatan. Adapun Cermo bersaudara yang sudah sering mendengar nama Ki Ageng tentu tidak menyianyiakan kesempatan untuk memohon doa restu. Segera keduanya menyongsong datangnya Ki Ageng seraya menghaturkan hormat.
Akan tetapi bukan petuah atau nasihat yang mereka dapat, melainkan Ki Ageng memberi keduanya masing-masing uang satu setengah sen. Widikucir diperintahkan untuk menghabiskan uang tersebut untuk membeli pisang ambon, adapun Cermo diperintahkan menghabiskan uangnya untuk menghabiskan dawet. Setelah keduanya menghabiskan pisang dan dawet tersebut, maka Ki Ageng pun beranjak pergi. Kedua bersaudara tersebut termenung dan merasa berbesar hati karena yakin akan kesaktian Ki Ageng. Selain itu jarang-jarang orang yang pernah ditraktir dan diberi uang oleh Ki Ageng. Namun yang terjadi kemudian sungguh tidak mengenakkan hati. Saat sampai di desa mereka tempat tinggal, mereka mendapat kabar bahwa rumah widikucir terbakar habis menjadi abu. Adapun Cermo tiba tiba menderita penyakit aneh yaitu sekujur lubang tubuh cermo menderita penyakit dan mengeluarkan nanah.
Setelah keduanya berunding, keduanya merasa bersalah karena mungkin kurang hormat kepada beliau. Keesokan harinya keduanya memutuskan untuk pergi sowan dan meminta maaf ke Ki Ageng. Setelah mencari cari informasi, maka datanglah keduanya ke rumah Ki Ageng untuk memohon maaaf. Akan tetapi yang berada di rumah hanya Nyi Kasihan dan Surip, sedangkan Ki Ageng sedang keluar rumah. Demi membantu tamunya tersebut, maka Nyi Kasihan dengan diserai Surip menghantar tamunya untuk mencari Ki Ageng dengan menaiki andong mereka berempat mendatangi tempat tempat Ki Ageng biasa berada. Tepat di depan gapura masjid mereka berhasil menemukan Ki Ageng, sembari melaporkan keperluan tersebut Nyi Kasihan juga hendak menyerahkan gaji Ki Ageng sebagai Bekel yang masih terus mendapat gaji dari Keraton. Ujar Nyi Kasihan "Ndoro niki kula ingkang sowan badhe nyaosaken blanja saking keraton" (Tuan saya menghadap hendak menyampaikan gaji dari keraton). Jawab Ki Ageng " mboten,mboten,mboten,sampun, wong kula mboten myambut damel kok di blanja"(jangan,jangan,jangan, saya tidak bekerja kok mendapat gaji). Ujar Nyi Kasihan ""eh mboten ngaten ndara, mboten sae nampik paringipun ngarso dalem" (jangan begitu tuan, tidak baik menolak pemberian raja). Ki Ageng sambil terpejam matanya berulang kali menggeleng menolak, maka terpaksa Nyi Kasihan membuka jari genggaman Ki Ageng dan semua uang dimasukkan dalam genggaman beliau. Uang gaji tersebut kemudian menambah isi kantong kantong yang terjait pada baju Ki Ageng. Setelah itu Nyi Kasihan melaporkan Cermo bersaudara dari Cebongan yang ingin menghadap. Setelah itu keduanya menceritakan semua peristiwa yang mereka berdua alami. Ki Ageng tidak berkomentar banyak, beliau mengatakan "wis ora ana apa apa, bali,bali,bali" sudah tidak apa apa, pulang,pulang,pulang.
Sesampainya dirumah, Cermo yang sakitpun sembuh, adapun Widikucir yang habis harta bendanya kembali menekuni usaha dengan sisa sisa yang ada. Justru dengan tekun mereka berguru kepada Ki Ageng sambil bercitacita menyusun harta mereka kembali. Bertahun tahun mereka menuntut ilmu kepada Ki Ageng, bahkan orang tua mereka yaitu Kyai Warak juga ikut berguru. Hubungan paseduluran tersebut berlanjut, bahkan kadang Ki Ageng juga datang ke desa turen untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Diketahui pula bahwa Kyai Warak memiliki pusaka selembar iket berwarna wulung konon berasal dari jaman Demak. Menurut Ki Ageng pusaka tersebut merupakan iket pangruwat untuk dipakai bila memainkan lakon ceritera Murwakala.mSelain berwarna wulung, juga bertuliskan arab hasil peninggalan Sunan Kalijaga. Demikianlah keluarga Warak tersebut dikemudian hari turun temurun menekuni seni wayang.
repost kaskus TS "mdiwse"
No comments:
Post a Comment