Perjalanan Akhir Tahun 1923
[Madik Calon Makam]
Sukaryo adalah Lurah desa Tegal Tahunan Semaki dengan dibantu anaknya
Jayus sebagai Carik (Sekdes) mereka berdua adalah pengagum Ki Ageng
Prawira Purba.
Suatu saat Sukaryo dipanggil ke rumah Ndara Purba,dirumah Ndara Purba
Sukaryo mendapat permintaan dari beliau “Kula mang yasakaken calon dalem
kagem benjang nggih” mohon saya dibuatkan rumah untuk nanti ya..
Begitu mendapat amanat untuk membuat rumah, maka Sukaryo yang sangat
menghormati Ndara Purba merasa mendapat kehormatan. Maka segera
dibuatlah rumah menurut pemahamannya. Di Tegal Tahunan tepatnya
dipinggir jalan Semaki tersebut segera dibangun rumah mungil lengkap dan
diisi perabotan rumah tangga. Rumah tersebut menghadap selatan. Setelah
semua selesai, maka Sukaryo segera melaporkan kepada Ndara Purba.
Beberapa waktu kemudian sekeluarga Ndara Purba beserta Nyi Kasihan dan
Surip naik andong ke Tahunan untuk melihat hasil karya Sukaryo tersebut.
Kedatangan mereka disambut Lurah Sukaryo beserta Carik Jayus. Sebuah
rumah mungil beserta perabot, disebelah barat juga terdapat pohon adem
adem ati besar dan rindang, Ki Ageng Prawira Purba pun memeriksa rumah
tersebut.
Mula mula Ndara Purba berdiri disebelah timur menghadap ke barat,
kemudian merenung terdiam sebentar, kemudian menoleh kekanan kekiri.
Beberapa saat kemudian Ndara Purba berkata “dede niki mbah griya kulo”
bukan ini mbah rumah saya. Setelah itu dilanjutkannya memeriksa bagian
sebelah barat diikuti Lurah Sukaryo dan Carik Jayus. Setelah itu beliau
bersandar pada pohon sambil menghadap ke timur sambil berkata “niki mbah
griya kulo, dan oleh Carik Jayus petunjuk Ki Ageng Prawira Purba ini
diberi tanda tiga buah patok sesuai dengan garis tiga deret yang telah
ditetapkan Ndara Purba. Dari garis tersebut kemudian dibangun tiga garis
calon makam dan rumah sebagai calon cungkup. Selesai penunjukan
mendekati pohon adem adem ati dan pohon dikelilingi tiga kali putaran,
maka rebahlah pohon kearah barat. Ini isyarat Ki Ageng Purba Prawira
waktu madik calon makam tempat istirahat kelak. Dapat dilihat perbedaan
maksud antara pemahaman Sukaryo dengan maksud Ndara Purba,dimana maksud
Ndara Purba pesanggrahan adalah tempat peristirahatan terakhir atau
makam, sedangkan pemahaman Sukaryo adalah tempat pesanggrahan atau
tempat tinggal.
Kata Ndara Purba “Ibu Nyai Kasihan,papan punika kula paring tetenger
Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, kula badhe mapan wonten ngriki” Ibu
Nyai Kasihan, tempat ini saya kasih nama Karang Kebolotan Sekar Megar
Sore, saya akan dimakamkan disini. Kata Sukaryo “Dhawah kaleresan Ndara
saged dados pepunden kagem putra wayah” Kebetulan Ndara bisa menjadi
pepunden bagi anak cucu. Penunjukan makam tersebut atas keinginan
pribadi Ndara Purba walaupun beliau dapat dimakamkan di Imogiri tempat
yang lebih layak dan terhormat.
Pepunden dalam arti bahasa jawa merupakan tempat yang dihormati, hal ini
wajar saja dalam pengertian agama Islam. Seperti dikisahkan di zaman
Salafus shalih bahwa Aisyah RA mengunjungi makam Rasulullah maupun makam
ayahnya Abu Bakar Ash Shidiq pada saat itu beliau bisa leluasa
berkunjung. Akan tetapi setelah makam tersebut bertambah dengan makam
Umar Bin Khattab maka Aisyah tidak leluasa lagi karena terdapat
seseorang (makam) yang bukan muhrimnya. Begitu pula analogi dengan makam
Ndara Purba, artinya dengan keyakinan bahwa orang yang meninggal itu
bisa tahu siapa saja yang mengunjungi makamnya maka tidak salah bila
anak cucu keturunan Ndara Purba memiliki makam beliau sebagai pepunden
leluhur yang menjadi pelajaran dan inspirasi bagi anak keturunannya pada
khususnya ataupun masyarakat pada umumnya.
Persiapan Pembangunan
Surip yang anak angkat Ndara Purba telah memasuki umur remaja bahkan
sudah dapat membantu orangtuanya. Menjelang pelaksanaan pembangunan
Surip mendapat tugas usaha pengadaan tenaga dan material.
Gamping :dibeli dari Demang desa Gamping.
Batu merah :diusahakan dari Setra Badut seorang pengikut Ki Ageng Prawira Purba dari desa
Kronggahan.
Batu Nisan : dipesan tiga buah dari wetan Beteng seharga f 125, (seratus dua puluh lima gulden).
Tukang Batu : Dikoordinir oleh Somocakra dari desa Patangpuluhan.
Tukang Kayu : Diserahkan kepada Somodani dari desa Dongkelan.
Plafon Kayu : dibuat dari kayu wungu sumbangan dari demang Sorosutan
Uang tunai : f 400 sumbangan Karsodimejo Lurah Tresan Ngluwar Magelang.
Pekerjaan pertama
Permukaan tanah sangat rendah sehingga dibutuhkan urugan, mbah Beruk
beserta cucunya Mangun Prawira menyediakan dua cikar. Pekerjaan urugan
diselesaikan dengan bolak balik mengambil tanah dari desa Muja Muju
sebanyak 200 cikar tanah atau 100 kali angkutan 2 cikar pinjaman dari
mbah Beruk tersebut.
Selesai urugan dilanjutkan dengan pembuatan gentan atau kulahan yang
dibuat dari batu merah dan semen. Gentan dibuat tiga buah sesuai
petunjuk Ndara Purba yang diberi tanda Pathok oleh Jayus. Setelah itu
dimulai pekerjaan pembuatan rumah cungkup. Pekerjaan tersebut banyak
menghabiskan waktu, tenaga kerja yang datang dari desa kebanyakan tidak
mau diberi upah walaupun dipaksa sedemikian rupa. Hal tersebut mungkin
dikarenakan mereka bekerja dengan gotongroyong dimana masyarakat jaman
dahulu lebih ringan tangan dalam bergotong royong, selain itu mereka
juga mengharap ngalap berkah dan doa restu Ndara Purba.
Setelah pembangunan selesai maka ditunjuk Mbok Marjadi sebagai petugas
yang mengatur kebersihan dan Pak Mat Yahyo sebagai penjaga keamanan.
Mereka masing masing mendapat uang belanja 2 f, dua gulen sebulan dari
Nyi Kasihan. Maka selesai sudah pembangunan makam Karang Kebolotan Sekar Megar Sore.
Ndara Purba pun kini punya kebiasaan baru, perhatiannya selalu tertarik
pada nomor andong. Dimana saja, kapan saja bila ada andong lewat
diperintahkannya Surip untuk mengejar dan membaca nomor andong tersebut.
Demikian pula setiap hendak bepergian naik andong pun juga dilakukan
usaha melihat nomor andong tersebut. Entah apa maksudnya dengan melihat
nomer tersebut Nyai Kasihan maupun Surip tidak mengetahui. Sudah ratusan
andong yang dilihat Surip tetapi tetap saja belum menemukan nomor
andong yang cocok.
Atas sumbangan tanah dari Lurah Sukaryo maka makin akrab persaudaraan
Ndara Purba dengan Sukaryo, hal tersebut dipererat dengan ungkapan Ndara
Purba kepada Surip”Surip kowe saiki wis gedhe, ora bakal ndherek rama
salawase,sing ngati ati wae romo mung mujekke kadi kadohan. Surip kamu
sudah dewasa, dan tidak selamanya ikut dengan ayah, hati hati lah ayah
cuma mendoakan dari jauh. Katakata ini selanjutnya berlanjut perjodohan
antara Surip dengan Jayus.
repost kaskus TS "mdiwse"
No comments:
Post a Comment