Saturday, May 9, 2015

Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 18

Tahun 1933 saat mendekati ajal

Hari itu merupakan hari rebo legi yaitu hari kelahiran Ki Ageng Prawira Purba, setelah semalam suntuk tidak tidur berpuasa neton, Ki Ageng menikmati nasi sayur bobor bayam dengan lauk tempe goreng bawang dengan sambal gosrek. Masakan tersebut merupakan kegemaran Ki Ageng dalam berbukapuasa neton. Memang sudah menjadi adat beliau untuk tidak tidur semalam suntuk setiap hari neton atau hari kelahiran beliau. Beliau biasa duduk dihalaman rumah atau kebun sambil membaca kitab kidungan. Setelah selesai makan beliau terlihat sangat puas,kemudian beliau memanggil Surip “Rip, kae ana andong liwat, coba deleng nomor pira”Rip, itu ada andong lewat, coba liat nomor berapa. Surip pun segera lari untuk melihat andong lewat tersebut dan melihat nomornya, kata Surip “sewidak kalih rama” enam puluh dua ayah.
Kata Ki Ageng “Bu Nyai Kasihan, nomor ingkang kula padosi pinten pinten tahun sakpunika sampun pinanggih, andum slamet nggih bu Nyai donga dinonga; Rip, kowe wis gedhe sing ngati ati romo tansah ndongakne kadi kadohan.” Bu Nyai Kasihan nomor yang saya cari bertahuntahun sekarang sudah ketemu, saling mendoakan selamat ya bu; Rip kamu sudah besar berhati hati ayah selalu mendoakan dari jauh.
Kemudian kata bu Nyai Kasihan “Rip kowe kudu cedhak ramamu” Rip kamu harus dekat dengan ayahmu. Rupanya Bu Nyai Kasihan mulai menangkap maksud nomer andong yang dimaksud tersebut,dan menyadari apa yang akan terjadi.

Siang harinya tanpa pamit Ndara Purba pergi meninggalkan rumah walaupun badannya terlihat lemah mungkin menderita sakit. Dalam perjalanannya beliau singgah di rumah Pak Karto di Ngadisuryan. Dan beliau jatuh sakit, selama empat hari tinggal di rumah Pak Karto. Sebenarnya pada saat mendengar kabar Ndara Purba sakit Bu Nyai Kasihan langsung mendatangi untuk merawat, akan tetapi beliau menolak. Bahkan ketika hendak didatangkan dokterpun beliau juga menolak, bahkan ketika Nyai Kasihan akan membawa pulang beliau ke rumah di Jalan Tukangan pun juga ditolak. Permintaan Ndara Purba justru minta didatangkan Mbah Beruk dari Sorosutan. Sabtu sore Mbok Beruk datang diikuti mbok Sowi atau Mangun Prawiro datang menunggui Ndara Purba yang tengah sakit selama sehari semalam. Pada hari minggu Kliwon saat matahari condong ke barat mBah Beruk masih menunggui Ndara Purba sedang mbok Sowi memijit mijit badan Ndara Purba. Saat itu Ndara Purba berpesan agar Mbah Beruk hati hati menjaga putra wayah.
Ki Ageng Prawira Purba saat itu terlihat lebih dekat dengan orang lain dibanding dengan keluarga sendiri/ibu Nyai Kasihan. Sekali lagi Ndara Purba berkata kepada Mbah Beruk bahwa saat akhir telah tiba mendapat panggilan Tuhannya.

Bu Nyai Kasihan kelihatan panik, usahanya sekali lagi untuk merawat suaminya agar kembali sehat, tetapi sekali lagi Ndara Purba tetap menolak segala tawarannya (dikalangan masyarakat Jawa fenomena tersebut sering disebut dengan fenomena “medot katresnan” atau upaya memutus cinta kasih,hal tersebut lazim dilakukan oleh orang yang hendak meninggal. Entah hal tersebut dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar tetapi upaya tersebut dilakukan agar orang tersebut dapat khusyu’ kembali kepada Tuhan dan dalam perjalanannya kealam kelanggengan tidak diperberat oleh rasa cintanya kepada keluarga).
Menghadapi penolakan yang berulang ulang tersebut emosi kewanitaan Nyai Kasihan timbul pula, dengan rasa jengkel maka keluarlah kata kata Nyai Kasihan kepada Ndara Purba “Jeneng bojo mestine uga kepengin suwita sing satemene, ning sing disuwitani kebangetan. Diboyong kundur ora kersa, didokterke ora kersa. Wong kok angel, yen angel kaya ngono ora kena disuwitani ya matia wae” Namanya istri pasti juga ingin berbakti kepada suami dengan sepenuh hati, tapi suami yang dibakti justru kebangetan. Diboyong pulang tidak mau, diperiksakan dokter juga tidak mau. Orang kok susah,kalau susah seperti itu tidak bisa dibakti ya mati saja.
Demi mendengar emosi Nyai Kasihan tersebut maka menjawablah Ndara Purba “o inggih, inggih, inggih ibu Nyai Kasihan menawi mekaten kersanipun kula badhe wangsul, kula pejah”. O ya, ya, ya Ibu Nyai Kasihan bila begitu keinginannya saya akan pulang, saya mati. Maka wafatlah Ndara Purba, Innalilahi wa ina ilaihi rajiun. Hingga hari terakhirnya pun Ndara Purba masih member kejutan, betapa terkejutnya Nyai Kasihan menyaksikan hal tersebut. Kata kata yang diungkapkan karena luapan kejengkelan, tapi rupanya kata kata tersebut menjadi kata penghabisan kepergian Ki Ageng Prawira Purba menghadap Tuhan. Suatu penyesalan yang sangat mendalam bagi Nyai Kasihan, tetapi semua itu tidak ada gunanya dan memang sebenarnya semua tersebut sudah menjadi garis dan takdir Tuhan.
Seorang anak manusia yang diwaktu mudanya telah digembleng seribu kehancuran, diceraiberaikan dari cinta kasih orangtua maupun saudara sehingga kematianlah yang diharapkan. Tetapi Tuhan menghendaki lain, Tuhan justru member kesempatan panjang berkembang, dan walau sebenarnya hidup ini sunyi.
Telah terbukti hidup yang sebelumnya terasa sendiri tetapi pada akhir perjalanan telah berkembang meluas. Telah banjir cinta meluap sanak saudara.

Tepat nama yang dipilih jauh sebelum tiba saat akhir perjalanan. Sepuluh tahun sebelum saatnya tiba telah dipilhnya pesanggrahan “Karang Kebolotan Sekar Megar Sore”
Beliau meninggal pada hari Minggu Kliwon, 4 Maret 1933 atau 15 Dulkaidah 1863 jam 16.35 di Ngadisuryan.

Jubah jembel Ki Ageng Prawira Purba yang terkenal tersebut waktu dilepas, kantong yang bergelantungan pada jubah tersebut dibuka satu persatu seluruh isinya dikumpulkan dan dengan disaksikan bersama dikumpulkan terdapat total uang senilai 60 ringgit.

 repost kaskus TS "mdiwse" 

No comments:

Post a Comment