Tahun 1933 saat mendekati ajal
Hari itu merupakan hari rebo legi yaitu hari kelahiran Ki Ageng Prawira
Purba, setelah semalam suntuk tidak tidur berpuasa neton, Ki Ageng
menikmati nasi sayur bobor bayam dengan lauk tempe goreng bawang dengan
sambal gosrek. Masakan tersebut merupakan kegemaran Ki Ageng dalam
berbukapuasa neton. Memang sudah menjadi adat beliau untuk tidak tidur
semalam suntuk setiap hari neton atau hari kelahiran beliau. Beliau
biasa duduk dihalaman rumah atau kebun sambil membaca kitab kidungan.
Setelah selesai makan beliau terlihat sangat puas,kemudian beliau
memanggil Surip “Rip, kae ana andong liwat, coba deleng nomor pira”Rip,
itu ada andong lewat, coba liat nomor berapa. Surip pun segera lari
untuk melihat andong lewat tersebut dan melihat nomornya, kata Surip
“sewidak kalih rama” enam puluh dua ayah.
Kata Ki Ageng “Bu Nyai
Kasihan, nomor ingkang kula padosi pinten pinten tahun sakpunika sampun
pinanggih, andum slamet nggih bu Nyai donga dinonga; Rip, kowe wis gedhe
sing ngati ati romo tansah ndongakne kadi kadohan.” Bu Nyai Kasihan
nomor yang saya cari bertahuntahun sekarang sudah ketemu, saling
mendoakan selamat ya bu; Rip kamu sudah besar berhati hati ayah selalu
mendoakan dari jauh.
Kemudian kata bu Nyai Kasihan “Rip kowe kudu cedhak ramamu” Rip kamu
harus dekat dengan ayahmu. Rupanya Bu Nyai Kasihan mulai menangkap
maksud nomer andong yang dimaksud tersebut,dan menyadari apa yang akan
terjadi.
Siang harinya tanpa pamit Ndara Purba pergi meninggalkan rumah walaupun
badannya terlihat lemah mungkin menderita sakit. Dalam perjalanannya
beliau singgah di rumah Pak Karto di Ngadisuryan. Dan beliau jatuh
sakit, selama empat hari tinggal di rumah Pak Karto. Sebenarnya pada
saat mendengar kabar Ndara Purba sakit Bu Nyai Kasihan langsung
mendatangi untuk merawat, akan tetapi beliau menolak. Bahkan ketika
hendak didatangkan dokterpun beliau juga menolak, bahkan ketika Nyai
Kasihan akan membawa pulang beliau ke rumah di Jalan Tukangan pun juga
ditolak. Permintaan Ndara Purba justru minta didatangkan Mbah Beruk dari
Sorosutan. Sabtu sore Mbok Beruk datang diikuti mbok Sowi atau Mangun
Prawiro datang menunggui Ndara Purba yang tengah sakit selama sehari
semalam. Pada hari minggu Kliwon saat matahari condong ke barat mBah
Beruk masih menunggui Ndara Purba sedang mbok Sowi memijit mijit badan
Ndara Purba. Saat itu Ndara Purba berpesan agar Mbah Beruk hati hati
menjaga putra wayah.
Ki Ageng Prawira Purba saat itu terlihat lebih dekat dengan orang lain
dibanding dengan keluarga sendiri/ibu Nyai Kasihan. Sekali lagi Ndara
Purba berkata kepada Mbah Beruk bahwa saat akhir telah tiba mendapat
panggilan Tuhannya.
Bu Nyai Kasihan kelihatan panik, usahanya sekali lagi untuk merawat
suaminya agar kembali sehat, tetapi sekali lagi Ndara Purba tetap
menolak segala tawarannya (dikalangan masyarakat Jawa fenomena tersebut
sering disebut dengan fenomena “medot katresnan” atau upaya memutus
cinta kasih,hal tersebut lazim dilakukan oleh orang yang hendak
meninggal. Entah hal tersebut dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar
tetapi upaya tersebut dilakukan agar orang tersebut dapat khusyu’
kembali kepada Tuhan dan dalam perjalanannya kealam kelanggengan tidak
diperberat oleh rasa cintanya kepada keluarga).
Menghadapi penolakan yang berulang ulang tersebut emosi kewanitaan Nyai
Kasihan timbul pula, dengan rasa jengkel maka keluarlah kata kata Nyai
Kasihan kepada Ndara Purba “Jeneng bojo mestine uga kepengin suwita sing
satemene, ning sing disuwitani kebangetan. Diboyong kundur ora kersa,
didokterke ora kersa. Wong kok angel, yen angel kaya ngono ora kena
disuwitani ya matia wae” Namanya istri pasti juga ingin berbakti kepada
suami dengan sepenuh hati, tapi suami yang dibakti justru kebangetan.
Diboyong pulang tidak mau, diperiksakan dokter juga tidak mau. Orang kok
susah,kalau susah seperti itu tidak bisa dibakti ya mati saja.
Demi mendengar emosi Nyai Kasihan tersebut maka menjawablah Ndara Purba
“o inggih, inggih, inggih ibu Nyai Kasihan menawi mekaten kersanipun
kula badhe wangsul, kula pejah”. O ya, ya, ya Ibu Nyai Kasihan bila
begitu keinginannya saya akan pulang, saya mati. Maka wafatlah Ndara
Purba, Innalilahi wa ina ilaihi rajiun. Hingga hari terakhirnya pun
Ndara Purba masih member kejutan, betapa terkejutnya Nyai Kasihan
menyaksikan hal tersebut. Kata kata yang diungkapkan karena luapan
kejengkelan, tapi rupanya kata kata tersebut menjadi kata penghabisan
kepergian Ki Ageng Prawira Purba menghadap Tuhan. Suatu penyesalan yang
sangat mendalam bagi Nyai Kasihan, tetapi semua itu tidak ada gunanya
dan memang sebenarnya semua tersebut sudah menjadi garis dan takdir
Tuhan.
Seorang anak manusia yang diwaktu mudanya telah digembleng seribu
kehancuran, diceraiberaikan dari cinta kasih orangtua maupun saudara
sehingga kematianlah yang diharapkan. Tetapi Tuhan menghendaki lain,
Tuhan justru member kesempatan panjang berkembang, dan walau sebenarnya
hidup ini sunyi.
Telah terbukti hidup yang sebelumnya terasa sendiri tetapi pada akhir
perjalanan telah berkembang meluas. Telah banjir cinta meluap sanak
saudara.
Tepat nama yang dipilih jauh sebelum tiba saat akhir perjalanan. Sepuluh
tahun sebelum saatnya tiba telah dipilhnya pesanggrahan “Karang
Kebolotan Sekar Megar Sore”
Beliau meninggal pada hari Minggu Kliwon, 4 Maret 1933 atau 15 Dulkaidah 1863 jam 16.35 di Ngadisuryan.
Jubah jembel Ki Ageng Prawira Purba yang terkenal tersebut waktu
dilepas, kantong yang bergelantungan pada jubah tersebut dibuka satu
persatu seluruh isinya dikumpulkan dan dengan disaksikan bersama
dikumpulkan terdapat total uang senilai 60 ringgit.
repost kaskus TS "mdiwse"
No comments:
Post a Comment