Wednesday, May 13, 2015

EKSPEDISI PENINGGALAN KOLONIAL HINDIA BELANDA DI EKS PABRIK GULA SEWUGALUR

 Ilustrasi Lukisan Pabrik Gula tahun 1865-1872 (karya Abraham Salm) Koleksi Museum Tropen, Belanda

Sejarah telah mencatat tentang keberadaan Pabrik Gula diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dimulai pada masa Pemerintahan KolonialHindia Belanda. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya beberapa bekas peninggalanPabrik Gula. Berdasarkan catatan J.Marches yaitu Overzicht van de Bedrijf-Sresultanten Betreffende Campagne (1941) yang dikeluarkan Proefstation Voor Java Suike- Industrie atau sekarang telah menjadi Pusat PenelitianPerkebunan Gula Indonesia (P3GI). Dalam buku itu  menyebutkan terdapat 17 Pabrik Gula atau Suiker Fabriek (Bahasa Belanda) yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta diantaranya adalah :
PG. Randu Gunting,
PG. Tanjungtirto,
PG. Kedaton Pleret,
PG. Wonotjatur,
PG. Padokan,
PG. Bantul,
PG. Barongan,
PG. Sewugalur,
PG. Gondanglipuro,
PG. Pundong,
PG. Gesikan,
PG. Rewulu,
PG. Demakijo,
PG. Cebongan,
PG. Beran,
PG. Medari dan
PG. Sendangpitu.

Sebelumnya tidaklah terbayang jika di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya memiliki total area tidak begitu luas atau hanya 3.185,8 Km2 pernah terdapat begitu banyak Pabrik Gula, sehingga berdampak pada sajian kuliner di D.I.Yogyakarta yang mayoritas memiliki citarasa manis.

Ketika tanaman tebu termasuk komoditi dalam program Tanam Paksa atau Cultuur-Stelsel (1830-1850), maka bermulalah Industri Gula di Indonesia. Baik Pabrik Gula yang milik pemerintah Hindia Belanda maupun swasta yang bertujuan untuk mengelola hasil panenan perkebunan tebu menjadi gula. Hal ini didukung dengan dimulainya era Liberalisme (1870) dan diperkenalkan sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa selama 70 tahun. Sistem transportasi yang menggunakan kereta api juga dibangun untuk mendukung dalam hal penggangkutan hasil industri gula, termasuk Lori pengangkut batang tebu.

Pembangunan jalan kereta api ini diprakasai oleh perusahaan swasta masa Kolonial Hindia Belanda yaitu Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS). Jalur kereta api yang berada di lintas selatan Yogyakarta diresmikan pada tahun 1895 untuk menghubungkan ruas Yogyakarta-Palbapang-Srandakan, berlanjut sampai ke Sewugalur (yang dibuka pada tahun 1915-1916) sejauh 28 km, serta Ngabean-Pundong yang dibuka pada tahun 1917-1919  sejauh 27 km. Untuk lintas utara Yogyakarta, meliputi ruas Yogyakarta-Tempel sampai keMagelang (sejauh 47 km) yang dibuka pada tahun 1903 serta melewati PG. Beran,PG Medari dan Pabrik-pabrik Gula lainnya di wilayah utara kota Yogyakarta (Sleman).

Akan tetapi krisis moneter global atau yang disebutdengan jaman Mallaise telah melanda dunia. Berangsur-angsur sektor industri gula mulai berkurang. Dikarenakan pasokan gula dipasar dunia yang berlebihan, sehingga berdampak pada  harga gula yang rendah. Pada tahun 1931terjadi kesepakatan perdagangan gula atau dikenal dengan Charbourne Agreement.

Salah satu isi perjanjan itu menyebutkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda diharuskan untuk menggurangi  pasokan produksi gula  di Jawa dari sekitar 3 juta ton menjadi 1.4 juta ton pertahun. Hal ini berdampak juga sampai ke Pabrik-pabrik Gula di D.I.Yogyakarta. Sehingga dari 17 Pabrik Gula hanya ada delapan saja yang bertahan meliputi,
PG. Tanjungtirto,
PG. Kedaton Pleret,
PG. Padokan,
PG. Gondanglipuro,PG. Gresikan,
PG. Cebongan,
PG. Beran dan
PG. Medari.

Sementara itu, sembilan Pabrik-pabrik Gula yang lainnya terpaksa ditutup. Seandainya saja tidak terjadi Mallaise, direncanakan Pemerintah Hindia Belanda juga akan membangun pelabuhan di daerah pesisir (pantai selatan) D.I. Yogyakarta.

Saat tentara Belanda ingin menduduki kembali wilayahYogyakarta setelah kemerdekaan atau dikenal ClashII pada tahun 1949. Banyak jembatan, jalan, bahkan bekas Pabrik Gula yang sengaja dihancurkan agar tidak dipergunakan sebagai basis pertahanan serta untukmenghalangi mobilisasi tentara Belanda. Sekarang bekas bangunan yang mungkin dahulunya sebagai saksi sejarah saat berlangsungnya era kejayaan produksi gula itu, kini sudah rata dengan tanah dan telah berubah menjadi pemukiman penduduk.

Lapangan Mbarik yang merupakan eks lokasi PG. Sewugalur

Rumah Dinas Eks Pegawai Pabrik Gula Sewugalur

Pabrik Gula Sewugalur didirikan pada tahun 1881 oleh Tuan E.J. Hoen, Tuan O.A.O. van der Berg dan Tuan R.M.E. Raaff. Perkebunan Tebunya menyewa tanah milik anggota bangsawan Kadipaten Pakualaman di Kabupaten Adikarto dengan menggunakan sistem kontrak jangka panjang.



Bekas Komplek PG. Sewugalur dekarang  hanya menyisakan beberapa tempat saja yang masih bisa dijumpai, seperti bekas pondasi cerobong asap, railbed Lori, saluran irigasi, kebun sayuran, makam serta rumah dinas eks pegawai pabrik gula

Masih berjajar dengan rapi bangunan ber-arsitektur Kolonial Hindia Belanda yang berada di Dusun Sewugalur XII, Desa Karangsewu,Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Rumah tersebut adalah rumah dinas atau Dienstwoningen(Bahasa Belanda)eks karyawan Pabrik Gula Sewugalur. Wilayah ini memang dahulunya adalah bekasarea PG Sewugalur berada. Sekarang bangunan eks rumah dinas ini sudah ditetapkan sebagai warisan cagar budaya ketegori bangunan tempat tinggal oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2010.

Eks Rumah Dinas Karyawan PG. Sewugalur yang kini ditempati oleh Keluarga Bapak Jamal Pracoyo (Bapak Tjokrodirjo)

Kondisi bangunan eks rumah dinas ini sekarang ditempati (dijadikan rumah tinggal), akan tetapi ada beberapa bangunan yang sudah direnovasi oleh pemiliknya, yaitu rumha yang berada nomor dua dari utara. Sedangkan sebelah selatannya, ada banguan rumah yang di teras depannya terpasang plakat cagar budaya. Rumah tersebut bercat putih serta terlihat sepi dan singgup. Beruntung Kotatua bertemu denganIbu Jamal Pracoyo (62 tahun). Beliau adalah salah satu pemilik dari rumah tersebut, atau terletak nomor tiga dari barisan rumah dinas eks PG. Sewugalur. Kemudian diperkenankan masuk melihat interior dan tentunya keluarga Bapak Jamal Pracoyo ini welcome dengan kedatangan Kotatua.
Sambil kotatua mendokumentasikan fisik bangunan, baik itu berupa eksrterior maupun interiordari rumah milik BuJamal, beliau juga menceritakan sejarah singkat tentang eks rumah dinas karyawan PG. Sewugalur ini. Bermula dibangun pada awal tahun 1900-an, seiring dengan pembangunan PG Sewugalur,rumah ini dahulunya milik petugas adminstrasi PG. Sewugalur seorang Meneer Belanda. Dahulunya saat malam sangat ramai untuk menggelar pesta dansa dan makan malam.

Interior Eks Rumah Dinas Karyawan PG. Sewugalur yang kini ditempati oleh Keluarga Bapak Jamal Pracoyo (Bapak Tjokrodirjo)

Setelah era Kolonial Hindia Belanda usai, kemudian rumah ini diambil alih oleh Serdadu Jepang (1942-1945) kemudian ditempati orang Tionghoa lalu dijual dan dibeli oleh keluarga BapakTjokrodirjo yang merupakan ayah dari Bapak Jamal Pracoyo. Disebelahnya juga dilengkapi dengan bangunan pavilion. Saat kotatua melihat interiornya, sejenak dibuat kagum dengan desain ornamen Kolonial yang kental. Hal ini terlihat dari lantai, jendela (handle), furniture klasik, tembok tinggi bahkan lantai kamar mandi yang berwarna coklat bertekstur kasar (kotak-kota besar) dan temboknya bergaris belah ketupat (motif tempegaret).

Bergeser kesebelah selatannya adalah sebuah banguan rumah dinas yang sudah tinggal puing temboknya tanpa atap. Saat kotatua mencoba bertanya kepada Pak Suratijo, beliau dan keluarga yang menempati salah satu bekas bangunan rumah dinas sebelahselatan Bu Jamal. Menuturkan dahulunya rumah ini sempat roboh karena gempa bumi tahun 2006. Pada bagian belakannya dahulunya digunakan sebagai kandang kuda. Menurut penuturan beliau, bahwa tidak ada orang yang mampu menghuni bangunan rumah ini, sampai pernah disewa kantor kelurahan, namun hanya bertahan beberapa bulan saja. Karena sering diganggu oleh makhluk halus penghuni rumah ini. Kini rumah ini hanya ditumbuhi rumput dan semak liar yang menambah kesan wingit atau angker. Pernah juga akan digunakan sebagai lokasi Uji Nyali acara Dunia Lain. Akan tetapi tim Dunia lain tidak jadi menyelenggarakan uji nyali tersebut, dikarenakan ada sesuatu hal.

Eks Rumah Dinas Karyawan PG. Sewugalur yang tidak ditempati lagi (roboh akibat gempa bumi tahun 2006 serta menurut warga sekitar cukup angker

Sedangkan rumah paling selatan ditempati oleh Keluarga Bapak Bayu, konon dibelakang rumah itu dahulunya terdapat kolam renang yang sering dipakai Noni Belanda untuk mandi. Suatu ketika ada warga Pribumi yang mengintip aktifitas Noni Belanda itu saat mandi dengan memanjat pohon disebelah pagar tinggi rumah dinas ini, Tapi naasnya hal ini diketahui oleh penjaga, lalu mereka ditangkap dan disiksa oleh Belanda sampai meninggal dunia.

 Rumah keluarga Bapak Bayu yang dahulunya dibelakang rumah ini ada kolam renangnya

Selain rumah dinas yang terletak di sisi sebelah timur dari eks PG. Sewugalur, juga terdapatderetan rumah dinas di sebelah selatan eks Komplek PG. Sewugalur ini. Sayang kondisinya sudah tidak ditempati dan hanya menyisakan puing tembok saja tanpaatap. Lokasinya berada di timur lapangan sepakbola Mbabrik atau MTs Darul ‘Ulum Muhammadiyah Galur.


Komplek Eks Pabrik Gula Sewugalur

Penelusuaran kotatua lanjutkan menuju ke dalam bekas komplek Pabrik Gula. Sekarang kondisinyasudah menjadi pemukiman dan kebun pekarangan warga (lebat ditumbuhi bermacam-macam tumbuhan, semak dan pohon kelapa). Beruntung kotatua bertemukeluarga Bapak Zainudin warga setempat yang bagian belakang pekarangan rumahnyaterdapat bekas sisa cerobong asap dan tungku pembakaran dari PG. Sewugalur. Kondisi cerobong hanya menyisakan bekas reruntuhan pondasi dan bata betonnyasaja. Menurut cerita dari Bapak Zainudin, bahwa cerobong ini sempat berdiri sampai tahun 1960an yang sengaja disisakan, Kemudian pada awal tahun 1970-ant elah  dirobohkan, serta kebun pekarangan rumah ini banyak dihuni ular dan nyamuk. Selanjutnya kotatua juga ditunjukkan bekas tungku pembakaran pabrik, saluran pembuangan limbah dan pengairan menuju komplek PG. Sewugalur serta bekas kebun untuk menanam sayur.

Reruntuhan Cerobong Asap yang berada di dalam komplek PG Sewugalur

Eks Stasiun Sewugalur

Setelah selesai menelusuri komplek bagian dalam eks PG. Sewugalur atau yang akrab disebut warga sekitar sebagai Mbabrik. Kotatua lanjutkan dengan menelusuri bekas keberadaan eks Stasiun Sewugalur, menurut analisis kotatua, bahwa dahulunya bekas lokasi stasiun itu berada diarea yang sekarang digunakan untuk Gedung SMP Negeri 2 Galur. Dahulunya dimungkinkan ada empat jalur rel yang berada di Stasiun Sewugalur ini dengan lebar bentang antara rel yaitu 1435 mm yang diprakasai oleh perusahaan perkereta-apian milik swasta era Kolonial Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada tahun1915-1916. Mengingat karena ini sebagai kopsstasiun atau stasiun terakhir yang berfungsi sebagai loading hasil gula dari PG. Sewugalur untuk diangkut menuju Pelabuhan Semarang (dari dalam komplek Pabrik Gula diangkut dengan menggunakan Lori, karena masih ditemukan bekas pondasi jembatan untuk lewat Lori).  Disebelah baratnya terdapat rail bed yang dahulunya berfungsi untuk memutar arah lokomotif.

SMP Negeri 2 Galur adalah lokasi yang dahulunya merupakan stasiun KA Sewugalur

Pemakaman Belanda (Kerkhof)

Terakhir kotatua juga menyempatkan untuk mengunjungi serta berziarah ke Kerkhof atau makam Belanda yang terletak di sebelah selatan dari area Mbabrik atau eks komplek PG. Sewugalur. Sungguh ironis dan terharu saat kotatua sampai diarea pemakaman yang terletak di tengah persawahan agak mendekati pemukiman warga tersebut. Kondisinya sudah tidak terawat karena ditumbuhi rumput, semak liar serta dimanfaatkan oleh warga untuk menanam pohon pisang. Posisi nisan berdiri tegak serta membujur kearah timur-barat serta membujur utara-selatan. Kotatua memperkirakan ada lebih dari sepuluh makam diarea kerkhof ini dan yang membuat hati kotatua tersentuh yaitu hampir semua nisan nama para Mendiang yang terbuat dari marmer ini telah raib dicuri oleh oknum tidak bertanggung jawab. Hanya menyisakan nama Mendiang Maria Ababell, dikarenakan mungkin susah diambil sehingga sempat patah (cuil). Kotatua hanya turut mendoakan semoga Mendiang dimuliakan oleh TuhanYang Maha Esa dan suatu saat nanti bisa dikunjungi oleh kerabat Mendiang yang berada di Belanda.

Kerkhof (Makam Belanda) dengan kondisi papan nama Mendiang yang terbuat dari batu marmer telah hilang dicuri

Penulis : Hari Kurniawan
(Kotatuaku Yogyakarta)


2 comments:

  1. pabrik gula randugunting itu yang di kalasan itu bukan ya, om??
    soale deket prambanan itu ada desa randugunting.. lokasinya dekat rel..
    di utara candi juga ada desa mbabrik.. katanya dulu di sana ada pabrik jaman belanda.. tapi mbuh pabrik apa.. cuma ada semacam bangunan segi empat tinggi.. mungkin cerobongnya kali ya??

    ReplyDelete
    Replies
    1. nggih betul... bsk tak posting fotonya mas

      Delete