Kisah dari Sorosutan
Diantara sekian banyak desa yang sering dikunjungi Ki Ageng adalah
Sorosutan. Di Sorosutan tinggal seorang pemuda bernama Surono putera
dari Harjawigeno. Pak Harjawigeno maupun paman Surono mengidap sakit
ingatan, sehingga Surono lah yang menanggung beban hidup keluarganya.
Surono juga harus menanggung mbok Beruk neneknya. Amarhum suami mbok
Beruk adalah seorang Bekel, selain itgeng u mbok Beruk juga berdagang
ternak dan hasil bumi sehingga mbok Beruk termasuk orang yang paling
berkecukupan di desa nya.
Dari kampung berangkat membawa ternak dan hasil bumi menggunakan Cikar
menuju pasar Muntilan, pasar Mertoyudan maupun pasar lain, kemudian
pulangnya membeli belanjaan untuk di jual di Desa Sorosutan. Surono
membantu sebagai kusir Cikar membantu neneknya. Kekayaan yang diperoleh
dari hasil berdagang tersebut ditafsirkan lain oleh masyarakat di
sekitar mereka, ditambah keadaan pak Harjawigeno dan adiknya yang kurang
waras. Masyarakat beranggaapan bahwa mbah Beruk memelihara tuyul atau
pesugihan, dimana kedua anaknya menjadi tumbal atas pesugihan tersebut.
Selain membantu neneknya Surono masih menyempatkan untuk mengaji di sore
harinya, adapun jaman itu tidak banyak anak yang bersekolah. Pada suatu
hari saat Surono berjalan menuju tempat guru mengajinya ditengah jalan
dicegat oleh Ki Ageng Prawira Purbo. Surono dihajar dan dipukuli sampai
menangis, sehingga akhirnya bocah itu pulang dan mengadukan pada
neneknya. Maka hebohlah penduduk Sorosutan ada yang beranggapan bahwa
hajaran tersebut merupakan firasat bahwa keluarga mbok Beruk akan
sukses, tetapi ada juga yang menafsirkan hal tersebut sebagai pelajaran
karena menjalani pesugihan.
Pada suatu hari pergilah Mbok Beruk ke Yogyakarta guna mencari Ki Ageng
untuk memohon petunjuk. Di alun alun mbok Beruk berhasil menjumpai Ki
Ageng, dan mencurahkan apa yang menjadi keingintahuannya tersebut. Akan
tetapi jawaban Ki Ageng singkat saja, "hes,kono lekas golekana"
(hes..sudah..segera kamu cari). Karena bingung dan tidak memahami makna
nasehat Ki Ageng, maka mbok Beruk kebingungan dan mencari tahu siapa
yang kira kira bisa menafsirkan nasehat tersebut. Di daerah Juminahan
ada seseorang yang sering bisa menafsirkan nasehat nasehat Ki
Ageng,namanya Raden Mas Sahid. RM Sahid menyarankan agar mbok Beruk
sekali lagi mendatangi Ki Ageng untuk memohon petunjuk dan kejelasan.
Maka dijumpainya lagi Ki Ageng, akan tetapi sekian lama mengungkapkan
isi hatinya Ki Ageng tetap terdiam. Akhirnya setelah sekian lama mbok
Beruk terus mengulangi maksud hatinya ditambah dengan menelungkupkan
badannya di tanah berulang ulang dan bertekad tidak akan berhenti
sebelum
Ki Ageng menjawab.
Akhirnya Ki Ageng menyerah juga ungkap beliau " wong kok do ting blasur
ki golek apa?" (orang kok pada tidak jelas seperti ini yang dicari
apa?). Ki Ageng berdiri dan langsung menarik mbok Beruk menuju
Sorosutan, dalam perasaannya mbok Beruk merasa Ki Ageng berjalan cepat
sekali seolah olah terbang.
Meskipun dengan susah payah Mbok Beruk berhasil mengundang Ndara Purba
datang ke Sorosutan. Paling tidak dengan kehadiran Ndara Purba,
kesulitannya mengenai anaknya yang sakit ingatan, serta anggapan
penduduk sekitar bahwa Mbok Beruk memelihara pesugihan dan kedua anaknya
menjadi “lebon” (tumbal) bisa diklarifikasi. Setelah berada di
Sorosutan Ki Ageng ternyata cukup betah tinggal di rumah Mbok Beruk dan
lambat laun setelah mendapat usada dari Ndara Purba maka Harjowigena
sembuh, walaupun setelah sembuh Harjawigena meninggal dunia.
Kehadiran Ndara Purba mulai membuat terang permasalahan, Somopawiro
(paman Surono) telah sembuh pula dari sakitnya. Atas kesembuhan
Somopawiro tersebut Ndara Purba sangat gembira bahkan sampai
menari-nari. Tarian tersebut bahkan memuncak sampai beliau ngibing
mengelilingi Somopawiro, rupanya perasaan gembira juga sedang dirasakan
Somapawiro sehingga sebenarnya Ndara Purba sedang mengungkapkan perasaan
Somopawiro tersebut.
Ternyata Ngibing tersebut juga merupakan firasat, setelah beberapa hari
kemudian Somopawiro telah pergi tanpa pamit dengan membawa sejumlah
uang. Kepergian ini menurut istilah Surono pergi menuruti perasaan
gembira. Adapun menurut istilah mbah Beruk kepergian Somopawiro ibarat
ayam lari kehutan, orang umum mengatakan minggat. Setelah sekian lama
pergi dan akhirnya kembali, maka oleh Ndara Purba nama Somapawiro
diganti menjadi Jayapawiro.
Adapun Mbok Hardjowiyono ibu Surono berdagang kain lurik. Seorang yang
pendiam dan tidak terlalu perduli dengan keadaan sekitarnya, bahkan saat
Ndara Purba datang pun tidak pernah dia menjumpai beliau. Mbok
Hardjawiyono agak kurang percaya terhadap Ndara Purba Usaha. Seiring
dengan naik turunnya kehidupan, begitu pula usaha dagang yang dijalankan
mbok Hardjowiyono. Beberapa kali merugi menyebabkan usahanya semakin
susut. Walaupun dilakukan penambahan modal, pada akhirnya akan susut
lagi. Kesulitan inipun diceritakan kepada Mbok Beruk, oleh mbok Beruk
disarankan agar meminta doa restu kepada Ndara Purba. Tetapi Mbok
Hardjowigeno merasa kurang yakin bahwa kesulitan dagang apakah bisa
diperbaiki dengan upaya doa (upaya bathin). Karena tak kunjung menghadap
Ndara Purba, maka Mbok Beruk lah yang mengambil inisiatif menemui Ndara
Purba. Ungkap beliau “Ndara kadospundi mantu kula kok ndeprok kemawon?”
(Tuan bagaimana ini menantu saya kok keadaannya terduduk seperti ini
terus?ungkapan bahwa usahanya tidak berkembang). Maka kata Ndara Purba
“kon njenggelek ora turu bae, ayo njenggelek” (suruh bangun, jangan
tidur melulu, ayo bangun).
Kata-kata tersebut mengandung sugesti bagi Mbok Hardjowigeno, sehingga
dia bersemangat lagi, tekun dan menghayati usahanya. Akhirnya usaha Mbok
Hardjowigeno dapat kembali lancer usahanya. Mbok Hardjowigeno yang
tadinya tidak percaya kepada Ndara Purba, akhirnya menjadi pengikutnya
juga.
Di Sorosutan, satu-satunya yang memiliki gamelan adalah Mbok Beruk
(Gamelan saat itu juga sekaligus menunjukkan status kekayaan atau
kesejahteraan seseorang). Ki Ageng Prawira Purba sangat menyukai seni
gamelan, bila beliau datang berkunjung maka gamelan pun sering
dimainkan.
Suatu ketika karena kebutuhan uang yang mendesak maka gamelan terpaksa
dijual ke orang lain. Beberapa saat kemudian datanglah Ndara Purba ke
rumah mbok Beruk, demi mengetahui bahwa gamelan sudah dijual maka beliau
merasa sedih. Saking sedihnya timbul perilaku kekanak-kanakan Ndara
Purba, beliau menangis meraung-raung sambil berguling-guling di atas
amben (ranjang).
Selang beberapa hari kemudian pembeli gamelan datang ke rumah mbok Beruk
untuk menyerahkan kembali gamelan yang dibelinya. Adapun soal
kembalinya uang terserah Mbah Beruk kapan saja apabila Mbah beruk sudah
dapat uang. Menurut keterangan pembeli gamelan, hal tersebut dilakukan
karena gamelan tersebut banyak yang tidak bunyi (bungkem) dan kalaupun
berbunyi larasnya tidak cocok. Rupanya terdapat kontak antara Ndara
Purba dengan gamelan tersebut. Setelah gamelan dikembalikan, maka Ndara
Purba pun gembira kembali dan gamelan pun dapat dimainkan kembali.
Setelah menikah Surono suami isteri mendapat nama dewasa yaitu Mangun
Pawiro suami isteri. Setelah menikah keduanyapun ingin tinggal terpisah
dan berharap dapat membeli tanah dan membangun tempat tinggal. Untuk
keinginan inipun Mbah Beruk menganjurkan cucunya agar memohon doa restu
Ndara Purba. Sayangnya Mbok Mangun Pawiro (isteri Surono) ini seorang
yang sangat pemalu, apalagi dihadapkan dengan Ndara Purba yang angker
berwibawa dan susah ditebak perilakunya.
Untuk melatih menghilangkan malu tersebut, maka diperintahkan oleh Mbah
Beruk agar cucu menantunya ini mulai belajar menghidangkan makanan dan
minuman ke ruang Ndara Purba. Maka dengan langkah perlahan dan gemetar
Mbok Mangun Prawira ini mengantarkan talam dengan suguhan diatasnya.
Sebenarnya hal tersebut juga tidak luput dari perhatian Ndara Purba,
maka timbullah rasa usilnya Ndara Purba. Pada saat akan memasuki kamar,
maka Mbok Mangun Prawira mengucapkan salam “kula nuwun” (permisi)
setelah mendapat perkenan dari yang di dalam kamar maka mbok Mangun
Prawiro masuk sambil membawa talam sajian tersebut. Setelah hidangan
diletakkan maka Ki Ageng langsung berteriak “ Mbah, Mbah Beruk,
mbah…putu sampeyan Mangun Prentil mbeto ageman kula, gondel, gondel,
gondel…”. Begitu terkejutnya mbok Mangun Prawira maka sambil berlari
keluar membawa nampan mendatangi mbah Beruk menubruknya dan menangis
sejadi-jadinya. Setelah ditanya Mbah Beruk, apa yang diambil oleh cucu
menantunya tersebut? Jawab Mbok Mangun Prawira “Bagaimana saya berani
mengambil barang milik Ki Ageng Prawira Purba, ketemu orangnya saja saya
sudah sedemikian takut, disumpahpun saya tidak mengambil barang apa-apa
dari dia”. Mbah Beruk pun memahami bahwa sebenarnya hal tersebut
merupakan lelucon Ki Ageng terhadap Mbok Mangun Prawira yang penakut.
Kiranya isyarat Ki Ageng Prawira Puba dimana perujudan rasa takut yang
memuncak yang disebabkan oleh perlakuan Ki Ageng baik berupa hajaran,
naupun gertakan dari Ki Ageng memiliki makna yang sama. Terbukti tidak
lama dari peristiwa gertakan tersebut Mbah Pingi penduduk Sorosutan
menawarkan sebidang tanah kepada Mbah Beruk. Letaknyapun tidak jauh dari
rumah Mbah Beruk .
Jauh sebelum Ndara Purba meninggal dunia beliau telah mempersiapkan
sebidang tanah untuk makamnya kelak. Sebidang tanah di Tegalan Tahunan
cukup luas untuk membangun satu rumah komplit beserta serambi dan
pelataran. Banyak kenalan yang diajak bermusyawarah mengenai rencana
pembangunan calon makam tersebut. Mbah Beruk juga dimintain bantuannya,
kata Ki Ageng “mBah kula sampun madik, kula mang gaweke omah nggih mbah”
(mbah saya sudah dekat waktunya, minta tolong dibuatkan rumah ya mbah).
Setelah Ndara Purba meninggal dunia, disusul pula mbah Beruk meninggal
dunia. Sepeninggal mereka Mangun Prawira (Surono) melestarikan adat
berbakti kepada Ki Ageng Purba Prawira dengan cara menghimpun para
pengagum Raden Bekel Prawira Purba, mengadakan selamatan di Tegal
Tahunan maupun di Sorosutan setiap hari wafatnya serta pada hari
sadranan setiap tahun sejak meninggalnya Ndara Purba pada tahun 1933
tidak pernah absen sampai dengan saat tulisan ini dibuat (1992).
repost kaskus TS "mdiwse"
No comments:
Post a Comment