Ceritera Kebangkitan setelah kematian
Senen Legi tanggal 5 Maret 1933
Pada hari tersebut dirumah Purbaningratan orang sibuk memandikan jenazah
Ki Ageng Prawira Purba, tetapi dibeberapa tempat lain terjadi peristiwa
yang bertentangan dengan kenyataan di Purbaningratan tersebut.
Prambanan
Di Prambanan pada saat yang sama terlihat Ki Ageng Prawira Purba
berjalan sambil membawa pisang raja setangkep (sesisir) serta membawa
sirih secandik.
Muntilan
Di Muntilan Magelang Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada orang-orang yang ditemui.
Alun-alun Pungkuran
Tempat tersebut relative tidak jauh dari Purbaningratanpada saat yang
sama Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada kepada
orang-orang yang berada di warung.
Di beberapa tempat yang lain telah terlihat ki Ageng Prawira Purba akan
tetapi tidak terjadi komunikasi antar yang melihat dengan yang dilihat.
Yang menyaksikan kejadian tersebut karena berlangsung singkat tidak
sempat berfikir menyadari kejanggalannya.
Atas beberapa kejadian tersebut sempat anggapan umum yang meragukan
kematian Ki Ageng Prawira Purba. Hal tersebut berkembang menjadi desas
desus yang meluas sehingga pihak berwenang hendak melakukan pembongkaran
untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut, tetapi karena fihak
keluarga keberatan maka rencana tersebut tidak berlanjut.
Selasa Pahing 6 Maret 1933
Dengan cara berpakaian yang gembel dan perilaku terkesan angina-anginan,
Ndara Purba sebenarnya dapat bergerak bebas, berjalan sekehendak hati,
termasuk pergi menemui siapapun yang beliau kehendaki tanpa ada
penghalang. Dari desa dan gubug reot hingga istana keraton pun tidak
pernah gagal dan selalu diterima dengan baik.
Pada hari Selasa Pahing 6 Maret 1933 atau satu hari setelah dimakamkan
Ki Ageng Prawira Purba terlihat menghadap Sri Susuhunan Paku Buwana XI
di Keraton Surakarta. Kunjungan tersebut diterima dengan wajar
sebagaimana mestinya. Tetapi pada saat itu dalam hati Sri Susuhunan
sempat timbul tanda Tanya dalam hati karena terdengar berita kematian
Ndara Purba, bahkan telah dikebumikan sehari sebelumnya. Tetapi kenapa
hari ini yang bersangkutan hadir dan menghadap ditempat itu?.
Sebenarnya siapakah yang dikebumikan di makam Karang Kebolotan Sekar
Megar Sore kemarin hari?. Akhirnya untuk mendapat kejelasan maka Sri
Susuhunan secara diam-diam memerintahkan abdi dalem untuk datang ke
Yogyakarta dengan berkendaraan mobil.
Setelah melakukan pengecekan maka abdi dalem kembali ke Keraton
Surakarta untuk menyampaikan informasi yang didapatnya di Yogyakarta,
dimana memang kemarin sudah dilakukan upacara penguburan. Akan tetapi
pada saat abdi dalem tersebut kembali di Surakarta, sang tamu (Ndara
Purba) yang menghadap Sri Susuhunan telah terlebih dahulu mohon diri
untuk pulang.
Sekali lagi Ki Ageng Prawira Purba membuat kejutan yang tidak kepalang
tanggung dan yang ditemui justeru penguasa tertinggi di Surakarta. Bagi
seorang Raja peristiwa tersebut dihadapi dengan bijaksana demi
menghormati ilmu Ki Ageng Prawira Purba.
Tahun 1934
Di Blora terdapat seorang murid Ki Ageng Prawira Purba yang sudah lama
tidak datang ke Yogyakarta sehingga beberapa saat hubungan agak terputus.
Demikian pula berita terakhir dari Yogyakarta mengenai wafatnya Ndara
Purba sang murid tersebut sama sekali tidak mengetahui.
Pada suatu hari di tahun 1934 datang Ndara Purba menengok sang murid dan
terjadilah dialog sebagai berikut : Tanya Ki Ageng “Sampun sawatawis
dangu panjenengan mboten rawuh dateng Ngayogya ?” (Sudah lama anda tidak
datang ke Yogya?)
Dijawab oleh si murid “punten dalem sewu, nembe ribet pedamelan, ugi
ingkang kagem sangu dereng nglempak ndara. Bilih Gusti marengaken minggu
ngajeng dalem sowan”.(Maaf, sedang sibuk, juga uang belum terkumpul
tuan, kalau diperbolehkan minggu depan saya akan menghadap ke Yogya).
Kata Ki Ageng Prawira Purba “Kaleresan ngaturi priksa pindah, menawi
suwau kula wonten ndalem Tukangan sakpunika kula wonten Karang Kebolotan
Sekar Megar Sore, dene papanipun kapernah wonten Kalurahan Tegal
Tahunan Semaki.” (Sekalian memberi tahu kalau saya sekarang sudah
pindah, kalau tadinya di Tukangan, sekarang di Karang Kebolotan Sekar
Megar Sore, adapun tempatnya di Kalurahan Tegal Tahunan Semaki).
Jawab si murid “o inggih ndara, mbenjang dalem tantu madosi sowan” (o
tentu tuan, besok saya pasti mencari tempatnya untuk menghadap).
Saat Ki Ageng Prawira Purba akan pulang sempat melihat burung perkutut
milik tuan rumah, dan katanya “Kok Sae nggih peksine” (kok bagus ya
burungnya).
Yang kemudian dijawab oleh tuan rumah “Inggih ndara radi sae, menawi
nandalem kersakaken sumangga mbenjang pindah dalem caosaken” (iya tuan,
agak bagus, kalau tuan berkenan besok sekalian kami haturkan).
Kata Ki Ageng “ O inggih matur kasuwun, sampun kasupen nggih” (oh ya, terimakasih jangan kelupaan ya).
Seminggu kemudian di statsiun Lempuyangan terdapat penumpang laki-laki
yang turun dengan membawa dua buah kurungan burung perkutut. Orang
tersebut dari stasiun berjalan kaki sambil Tanya kesana-sini mencari
alamat Tegal Tahunan-Semaki.
Tepat jam 16.00 orang Blora tersebut telah sampai di tempat yang dituju.
Di pintu gerbang Karang Kebolotan diterima oleh yang bertugas hari itu
romo Somodani dan Raden Projolelono. Kehadirannya diterima dengan baik
dengan basa basi sambil melepaskan lelah setelah seharian menempuh
perjalanan, yang penting sudah sampai kerumah Ki Ageng Prawira Purba,
nanti kalau sudah lepas lelah dan pikiran kembali tenang baru akan
menghadap Ki Ageng Prawira Purba. Kebetulan sang tamu yang juga murid
belia cukup memahami kebiasaan Ndara Purba yang sering keluar rumah,
sehingga bila nanti terpaksa harus mencari keluar pun sudah dalam
kondisi segar. Setelah hari semakin sore dan badan sudah segar kembali
maka bertanyalah tamu kepada romo Somodani, dimanakah kira-kira dia
dapat menghadap Ndara Prawira Purba. Maka dijawablah oleh room Somodani
bahwa Ndara Purba telah wafat. Tetapi sang tamu menyangkal tidak
percaya, terlebih mendapat penjelasan bahwa telah meninggal setahun yang
lalu. Keduanya sempat bersitegang mempertahankan pendapat
masing-masing, maka akhirnya si tamu diajak oleh romo Somodani masuk ke
dalam rumah.
Betapa terkejutnya si tamu dari Blora tersebut demi menyaksikan nisan
Ndara Purba, terpukau dan terdiam sekian lama. Perasaan sedih dan haru
si murid karena tidak mendapat kesempatan untuk ikut menghantarkan
jenazah orang yang ia kagumi. Dia pun menundukkan kepala memusatkan
segala cipta rasa mengheningkan cipta kepada Ilahi dengan rasa syukur
akan perjalanan yang dia saksikan, perjalanan seorang auliya yang telah
mengorbankan segala kepentingan jasmaninya, diabdikan untuk seluruh
kemanusiaan sebagai pengejawantahan kebaktian kepada Tuhannya. Sangat
hormat dan kagum orang Blora tersebut, sebagaimana di gapura telah
ditulis candrasengkala yang mengartikan tahun saat dikebumikan raga Ki
Ageng Prawira Purba. Tetapi dengan segala keberhasilan ilmu hidup Ki
Ageng Prawira Purba, seminggu yang lalu masih dapat muncul menampakkan
diri dihadapan manusia lain.
Timbul pula pertanyaan di hatinya apakah betul sudah wafatkah Ndara
Purba?atau sekedar usaha untuk menghindarkan diri dari kerumunan
simpatisan orang yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Tidak
mau ambil pusing, demi rasa hormatnya maka kedatangannya yang semula
berniat untuk silaturahmi dan ngabekti sebagai seorang murid kepada sang
guru maka kedatangannya dilanjutkan untuk teteki. Sedang burung
perkutut keduanya diserahkan kepada jurukunci.
Setelah selesai pemakaman tanggal 5 Maret tahun 1933 dengan suasanan
masih berkabung di makam tersebut putra wayah simpatisan masih tugur.
Atas rasa handarbeni (memiliki)juga karena semua merasa ikut
berkewajiban, maka atas musyawarah simpatisan, pengagum serta putra
wayah yang ada saat itu dibentuk kelompok juru kunci angkatan ke 1
terdiri dari sepuluh orang yaitu:
1. Wonosemito
2. Pawirokromo
3. Potrodento
4. Pak Dikin
5. Somodani
6. Niti Jengot
7. Raden Digdo
8. Kromo Diharjo
9. Proyo Wiyogo
10. Niti Semito.
Juru kunci angkatan pertama tersebut selanjutnya semakin berkurang
karena meninggal dunia dan terdapat penambahan-ppenambahan angkatan
baru. Yang paling lama bertahan adalah Wonosemito yang paling akhir
meninggal dunia. Demikian selanjutnya disusul formasi baru menurut
kebutuhan perkembangannya.
repost kaskus TS "mdiwse"
pic : Alun-alun Kidul (Plengkung Gading) tahun 1900
No comments:
Post a Comment