Saturday, May 9, 2015

Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 20

Ceritera Kebangkitan setelah kematian

Senen Legi tanggal 5 Maret 1933

Pada hari tersebut dirumah Purbaningratan orang sibuk memandikan jenazah Ki Ageng Prawira Purba, tetapi dibeberapa tempat lain terjadi peristiwa yang bertentangan dengan kenyataan di Purbaningratan tersebut.

Prambanan
Di Prambanan pada saat yang sama terlihat Ki Ageng Prawira Purba berjalan sambil membawa pisang raja setangkep (sesisir) serta membawa sirih secandik.

Muntilan
Di Muntilan Magelang Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada orang-orang yang ditemui.

Alun-alun Pungkuran
Tempat tersebut relative tidak jauh dari Purbaningratanpada saat yang sama Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada kepada orang-orang yang berada di warung.

Di beberapa tempat yang lain telah terlihat ki Ageng Prawira Purba akan tetapi tidak terjadi komunikasi antar yang melihat dengan yang dilihat. Yang menyaksikan kejadian tersebut karena berlangsung singkat tidak sempat berfikir menyadari kejanggalannya.

Atas beberapa kejadian tersebut sempat anggapan umum yang meragukan kematian Ki Ageng Prawira Purba. Hal tersebut berkembang menjadi desas desus yang meluas sehingga pihak berwenang hendak melakukan pembongkaran untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut, tetapi karena fihak keluarga keberatan maka rencana tersebut tidak berlanjut.

Selasa Pahing 6 Maret 1933

Dengan cara berpakaian yang gembel dan perilaku terkesan angina-anginan, Ndara Purba sebenarnya dapat bergerak bebas, berjalan sekehendak hati, termasuk pergi menemui siapapun yang beliau kehendaki tanpa ada penghalang. Dari desa dan gubug reot hingga istana keraton pun tidak pernah gagal dan selalu diterima dengan baik.

Pada hari Selasa Pahing 6 Maret 1933 atau satu hari setelah dimakamkan Ki Ageng Prawira Purba terlihat menghadap Sri Susuhunan Paku Buwana XI di Keraton Surakarta. Kunjungan tersebut diterima dengan wajar sebagaimana mestinya. Tetapi pada saat itu dalam hati Sri Susuhunan sempat timbul tanda Tanya dalam hati karena terdengar berita kematian Ndara Purba, bahkan telah dikebumikan sehari sebelumnya. Tetapi kenapa hari ini yang bersangkutan hadir dan menghadap ditempat itu?.

Sebenarnya siapakah yang dikebumikan di makam Karang Kebolotan Sekar Megar Sore kemarin hari?. Akhirnya untuk mendapat kejelasan maka Sri Susuhunan secara diam-diam memerintahkan abdi dalem untuk datang ke Yogyakarta dengan berkendaraan mobil.

Setelah melakukan pengecekan maka abdi dalem kembali ke Keraton Surakarta untuk menyampaikan informasi yang didapatnya di Yogyakarta, dimana memang kemarin sudah dilakukan upacara penguburan. Akan tetapi pada saat abdi dalem tersebut kembali di Surakarta, sang tamu (Ndara Purba) yang menghadap Sri Susuhunan telah terlebih dahulu mohon diri untuk pulang.

Sekali lagi Ki Ageng Prawira Purba membuat kejutan yang tidak kepalang tanggung dan yang ditemui justeru penguasa tertinggi di Surakarta. Bagi seorang Raja peristiwa tersebut dihadapi dengan bijaksana demi menghormati ilmu Ki Ageng Prawira Purba.

Tahun 1934

Di Blora terdapat seorang murid Ki Ageng Prawira Purba yang sudah lama tidak datang ke Yogyakarta sehingga beberapa saat hubungan agak terputus. Demikian pula berita terakhir dari Yogyakarta mengenai wafatnya Ndara Purba sang murid tersebut sama sekali tidak mengetahui.
Pada suatu hari di tahun 1934 datang Ndara Purba menengok sang murid dan terjadilah dialog sebagai berikut : Tanya Ki Ageng “Sampun sawatawis dangu panjenengan mboten rawuh dateng Ngayogya ?” (Sudah lama anda tidak datang ke Yogya?)

Dijawab oleh si murid “punten dalem sewu, nembe ribet pedamelan, ugi ingkang kagem sangu dereng nglempak ndara. Bilih Gusti marengaken minggu ngajeng dalem sowan”.(Maaf, sedang sibuk, juga uang belum terkumpul tuan, kalau diperbolehkan minggu depan saya akan menghadap ke Yogya).

Kata Ki Ageng Prawira Purba “Kaleresan ngaturi priksa pindah, menawi suwau kula wonten ndalem Tukangan sakpunika kula wonten Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, dene papanipun kapernah wonten Kalurahan Tegal Tahunan Semaki.” (Sekalian memberi tahu kalau saya sekarang sudah pindah, kalau tadinya di Tukangan, sekarang di Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, adapun tempatnya di Kalurahan Tegal Tahunan Semaki).
Jawab si murid “o inggih ndara, mbenjang dalem tantu madosi sowan” (o tentu tuan, besok saya pasti mencari tempatnya untuk menghadap).
Saat Ki Ageng Prawira Purba akan pulang sempat melihat burung perkutut milik tuan rumah, dan katanya “Kok Sae nggih peksine” (kok bagus ya burungnya).

Yang kemudian dijawab oleh tuan rumah “Inggih ndara radi sae, menawi nandalem kersakaken sumangga mbenjang pindah dalem caosaken” (iya tuan, agak bagus, kalau tuan berkenan besok sekalian kami haturkan).
Kata Ki Ageng “ O inggih matur kasuwun, sampun kasupen nggih” (oh ya, terimakasih jangan kelupaan ya).

Seminggu kemudian di statsiun Lempuyangan terdapat penumpang laki-laki yang turun dengan membawa dua buah kurungan burung perkutut. Orang tersebut dari stasiun berjalan kaki sambil Tanya kesana-sini mencari alamat Tegal Tahunan-Semaki.

Tepat jam 16.00 orang Blora tersebut telah sampai di tempat yang dituju. Di pintu gerbang Karang Kebolotan diterima oleh yang bertugas hari itu romo Somodani dan Raden Projolelono. Kehadirannya diterima dengan baik dengan basa basi sambil melepaskan lelah setelah seharian menempuh perjalanan, yang penting sudah sampai kerumah Ki Ageng Prawira Purba, nanti kalau sudah lepas lelah dan pikiran kembali tenang baru akan menghadap Ki Ageng Prawira Purba. Kebetulan sang tamu yang juga murid belia cukup memahami kebiasaan Ndara Purba yang sering keluar rumah, sehingga bila nanti terpaksa harus mencari keluar pun sudah dalam kondisi segar. Setelah hari semakin sore dan badan sudah segar kembali maka bertanyalah tamu kepada romo Somodani, dimanakah kira-kira dia dapat menghadap Ndara Prawira Purba. Maka dijawablah oleh room Somodani bahwa Ndara Purba telah wafat. Tetapi sang tamu menyangkal tidak percaya, terlebih mendapat penjelasan bahwa telah meninggal setahun yang lalu. Keduanya sempat bersitegang mempertahankan pendapat masing-masing, maka akhirnya si tamu diajak oleh romo Somodani masuk ke dalam rumah.
Betapa terkejutnya si tamu dari Blora tersebut demi menyaksikan nisan Ndara Purba, terpukau dan terdiam sekian lama. Perasaan sedih dan haru si murid karena tidak mendapat kesempatan untuk ikut menghantarkan jenazah orang yang ia kagumi. Dia pun menundukkan kepala memusatkan segala cipta rasa mengheningkan cipta kepada Ilahi dengan rasa syukur akan perjalanan yang dia saksikan, perjalanan seorang auliya yang telah mengorbankan segala kepentingan jasmaninya, diabdikan untuk seluruh kemanusiaan sebagai pengejawantahan kebaktian kepada Tuhannya. Sangat hormat dan kagum orang Blora tersebut, sebagaimana di gapura telah ditulis candrasengkala yang mengartikan tahun saat dikebumikan raga Ki Ageng Prawira Purba. Tetapi dengan segala keberhasilan ilmu hidup Ki Ageng Prawira Purba, seminggu yang lalu masih dapat muncul menampakkan diri dihadapan manusia lain.

Timbul pula pertanyaan di hatinya apakah betul sudah wafatkah Ndara Purba?atau sekedar usaha untuk menghindarkan diri dari kerumunan simpatisan orang yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Tidak mau ambil pusing, demi rasa hormatnya maka kedatangannya yang semula berniat untuk silaturahmi dan ngabekti sebagai seorang murid kepada sang guru maka kedatangannya dilanjutkan untuk teteki. Sedang burung perkutut keduanya diserahkan kepada jurukunci.

Setelah selesai pemakaman tanggal 5 Maret tahun 1933 dengan suasanan masih berkabung di makam tersebut putra wayah simpatisan masih tugur. Atas rasa handarbeni (memiliki)juga karena semua merasa ikut berkewajiban, maka atas musyawarah simpatisan, pengagum serta putra wayah yang ada saat itu dibentuk kelompok juru kunci angkatan ke 1 terdiri dari sepuluh orang yaitu:
1. Wonosemito
2. Pawirokromo
3. Potrodento
4. Pak Dikin
5. Somodani
6. Niti Jengot
7. Raden Digdo
8. Kromo Diharjo
9. Proyo Wiyogo
10. Niti Semito.

Juru kunci angkatan pertama tersebut selanjutnya semakin berkurang karena meninggal dunia dan terdapat penambahan-ppenambahan angkatan baru. Yang paling lama bertahan adalah Wonosemito yang paling akhir meninggal dunia. Demikian selanjutnya disusul formasi baru menurut kebutuhan perkembangannya.

repost kaskus TS "mdiwse"   
pic : Alun-alun Kidul (Plengkung Gading) tahun 1900

No comments:

Post a Comment