Wednesday, May 13, 2015
EKSPEDISI PENINGGALAN KOLONIAL HINDIA BELANDA DI EKS PABRIK GULA SEWUGALUR
Ilustrasi Lukisan Pabrik Gula tahun 1865-1872 (karya Abraham Salm) Koleksi Museum Tropen, Belanda
PG. Randu Gunting,
PG. Tanjungtirto,
PG. Kedaton Pleret,
PG. Wonotjatur,
PG. Padokan,
PG. Bantul,
PG. Barongan,
PG. Sewugalur,
PG. Gondanglipuro,
PG. Pundong,
PG. Gesikan,
PG. Rewulu,
PG. Demakijo,
PG. Cebongan,
PG. Beran,
PG. Medari dan
PG. Sendangpitu.
Sebelumnya tidaklah terbayang jika di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya memiliki total area tidak begitu luas atau hanya 3.185,8 Km2 pernah terdapat begitu banyak Pabrik Gula, sehingga berdampak pada sajian kuliner di D.I.Yogyakarta yang mayoritas memiliki citarasa manis.
Ketika tanaman tebu termasuk komoditi dalam program Tanam Paksa atau Cultuur-Stelsel (1830-1850), maka bermulalah Industri Gula di Indonesia. Baik Pabrik Gula yang milik pemerintah Hindia Belanda maupun swasta yang bertujuan untuk mengelola hasil panenan perkebunan tebu menjadi gula. Hal ini didukung dengan dimulainya era Liberalisme (1870) dan diperkenalkan sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa selama 70 tahun. Sistem transportasi yang menggunakan kereta api juga dibangun untuk mendukung dalam hal penggangkutan hasil industri gula, termasuk Lori pengangkut batang tebu.
Pembangunan jalan kereta api ini diprakasai oleh perusahaan swasta masa Kolonial Hindia Belanda yaitu Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS). Jalur kereta api yang berada di lintas selatan Yogyakarta diresmikan pada tahun 1895 untuk menghubungkan ruas Yogyakarta-Palbapang-Srandakan, berlanjut sampai ke Sewugalur (yang dibuka pada tahun 1915-1916) sejauh 28 km, serta Ngabean-Pundong yang dibuka pada tahun 1917-1919 sejauh 27 km. Untuk lintas utara Yogyakarta, meliputi ruas Yogyakarta-Tempel sampai keMagelang (sejauh 47 km) yang dibuka pada tahun 1903 serta melewati PG. Beran,PG Medari dan Pabrik-pabrik Gula lainnya di wilayah utara kota Yogyakarta (Sleman).
Akan tetapi krisis moneter global atau yang disebutdengan jaman Mallaise telah melanda dunia. Berangsur-angsur sektor industri gula mulai berkurang. Dikarenakan pasokan gula dipasar dunia yang berlebihan, sehingga berdampak pada harga gula yang rendah. Pada tahun 1931terjadi kesepakatan perdagangan gula atau dikenal dengan Charbourne Agreement.
Salah satu isi perjanjan itu menyebutkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda diharuskan untuk menggurangi pasokan produksi gula di Jawa dari sekitar 3 juta ton menjadi 1.4 juta ton pertahun. Hal ini berdampak juga sampai ke Pabrik-pabrik Gula di D.I.Yogyakarta. Sehingga dari 17 Pabrik Gula hanya ada delapan saja yang bertahan meliputi,
PG. Tanjungtirto,
PG. Kedaton Pleret,
PG. Padokan,
PG. Gondanglipuro,PG. Gresikan,
PG. Cebongan,
PG. Beran dan
PG. Medari.
Sementara itu, sembilan Pabrik-pabrik Gula yang lainnya terpaksa ditutup. Seandainya saja tidak terjadi Mallaise, direncanakan Pemerintah Hindia Belanda juga akan membangun pelabuhan di daerah pesisir (pantai selatan) D.I. Yogyakarta.
Saat tentara Belanda ingin menduduki kembali wilayahYogyakarta setelah kemerdekaan atau dikenal ClashII pada tahun 1949. Banyak jembatan, jalan, bahkan bekas Pabrik Gula yang sengaja dihancurkan agar tidak dipergunakan sebagai basis pertahanan serta untukmenghalangi mobilisasi tentara Belanda. Sekarang bekas bangunan yang mungkin dahulunya sebagai saksi sejarah saat berlangsungnya era kejayaan produksi gula itu, kini sudah rata dengan tanah dan telah berubah menjadi pemukiman penduduk.
Lapangan Mbarik yang merupakan eks lokasi PG. Sewugalur
Pabrik Gula Sewugalur didirikan pada tahun 1881 oleh Tuan E.J. Hoen, Tuan O.A.O. van der Berg dan Tuan R.M.E. Raaff. Perkebunan Tebunya menyewa tanah milik anggota bangsawan Kadipaten Pakualaman di Kabupaten Adikarto dengan menggunakan sistem kontrak jangka panjang.
Bekas Komplek PG. Sewugalur dekarang hanya menyisakan beberapa tempat saja yang masih bisa dijumpai, seperti bekas pondasi cerobong asap, railbed Lori, saluran irigasi, kebun sayuran, makam serta rumah dinas eks pegawai pabrik gula
Masih berjajar dengan rapi bangunan ber-arsitektur Kolonial Hindia Belanda yang berada di Dusun Sewugalur XII, Desa Karangsewu,Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Rumah tersebut adalah rumah dinas atau Dienstwoningen(Bahasa Belanda)eks karyawan Pabrik Gula Sewugalur. Wilayah ini memang dahulunya adalah bekasarea PG Sewugalur berada. Sekarang bangunan eks rumah dinas ini sudah ditetapkan sebagai warisan cagar budaya ketegori bangunan tempat tinggal oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2010.
Eks Rumah Dinas Karyawan PG. Sewugalur yang kini ditempati oleh Keluarga Bapak Jamal Pracoyo (Bapak Tjokrodirjo)
Sambil kotatua mendokumentasikan fisik bangunan, baik itu berupa eksrterior maupun interiordari rumah milik BuJamal, beliau juga menceritakan sejarah singkat tentang eks rumah dinas karyawan PG. Sewugalur ini. Bermula dibangun pada awal tahun 1900-an, seiring dengan pembangunan PG Sewugalur,rumah ini dahulunya milik petugas adminstrasi PG. Sewugalur seorang Meneer Belanda. Dahulunya saat malam sangat ramai untuk menggelar pesta dansa dan makan malam.
Interior Eks Rumah Dinas Karyawan PG. Sewugalur yang kini ditempati oleh Keluarga Bapak Jamal Pracoyo (Bapak Tjokrodirjo)
Setelah era Kolonial Hindia Belanda usai, kemudian rumah ini diambil alih oleh Serdadu Jepang (1942-1945) kemudian ditempati orang Tionghoa lalu dijual dan dibeli oleh keluarga BapakTjokrodirjo yang merupakan ayah dari Bapak Jamal Pracoyo. Disebelahnya juga dilengkapi dengan bangunan pavilion. Saat kotatua melihat interiornya, sejenak dibuat kagum dengan desain ornamen Kolonial yang kental. Hal ini terlihat dari lantai, jendela (handle), furniture klasik, tembok tinggi bahkan lantai kamar mandi yang berwarna coklat bertekstur kasar (kotak-kota besar) dan temboknya bergaris belah ketupat (motif tempegaret).
Bergeser kesebelah selatannya adalah sebuah banguan rumah dinas yang sudah tinggal puing temboknya tanpa atap. Saat kotatua mencoba bertanya kepada Pak Suratijo, beliau dan keluarga yang menempati salah satu bekas bangunan rumah dinas sebelahselatan Bu Jamal. Menuturkan dahulunya rumah ini sempat roboh karena gempa bumi tahun 2006. Pada bagian belakannya dahulunya digunakan sebagai kandang kuda. Menurut penuturan beliau, bahwa tidak ada orang yang mampu menghuni bangunan rumah ini, sampai pernah disewa kantor kelurahan, namun hanya bertahan beberapa bulan saja. Karena sering diganggu oleh makhluk halus penghuni rumah ini. Kini rumah ini hanya ditumbuhi rumput dan semak liar yang menambah kesan wingit atau angker. Pernah juga akan digunakan sebagai lokasi Uji Nyali acara Dunia Lain. Akan tetapi tim Dunia lain tidak jadi menyelenggarakan uji nyali tersebut, dikarenakan ada sesuatu hal.
Eks Rumah Dinas Karyawan PG. Sewugalur yang tidak
ditempati lagi (roboh akibat gempa bumi tahun 2006 serta menurut warga
sekitar cukup angker
Sedangkan rumah paling selatan ditempati oleh Keluarga Bapak Bayu, konon dibelakang rumah itu dahulunya terdapat kolam renang yang sering dipakai Noni Belanda untuk mandi. Suatu ketika ada warga Pribumi yang mengintip aktifitas Noni Belanda itu saat mandi dengan memanjat pohon disebelah pagar tinggi rumah dinas ini, Tapi naasnya hal ini diketahui oleh penjaga, lalu mereka ditangkap dan disiksa oleh Belanda sampai meninggal dunia.
Rumah keluarga Bapak Bayu yang dahulunya dibelakang rumah ini ada kolam renangnya
Selain rumah dinas yang terletak di sisi sebelah timur dari eks PG. Sewugalur, juga terdapatderetan rumah dinas di sebelah selatan eks Komplek PG. Sewugalur ini. Sayang kondisinya sudah tidak ditempati dan hanya menyisakan puing tembok saja tanpaatap. Lokasinya berada di timur lapangan sepakbola Mbabrik atau MTs Darul ‘Ulum Muhammadiyah Galur.
Komplek Eks Pabrik Gula Sewugalur
Penelusuaran kotatua lanjutkan menuju ke dalam bekas komplek Pabrik Gula. Sekarang kondisinyasudah menjadi pemukiman dan kebun pekarangan warga (lebat ditumbuhi bermacam-macam tumbuhan, semak dan pohon kelapa). Beruntung kotatua bertemukeluarga Bapak Zainudin warga setempat yang bagian belakang pekarangan rumahnyaterdapat bekas sisa cerobong asap dan tungku pembakaran dari PG. Sewugalur. Kondisi cerobong hanya menyisakan bekas reruntuhan pondasi dan bata betonnyasaja. Menurut cerita dari Bapak Zainudin, bahwa cerobong ini sempat berdiri sampai tahun 1960an yang sengaja disisakan, Kemudian pada awal tahun 1970-ant elah dirobohkan, serta kebun pekarangan rumah ini banyak dihuni ular dan nyamuk. Selanjutnya kotatua juga ditunjukkan bekas tungku pembakaran pabrik, saluran pembuangan limbah dan pengairan menuju komplek PG. Sewugalur serta bekas kebun untuk menanam sayur.
Reruntuhan Cerobong Asap yang berada di dalam komplek PG Sewugalur
Eks Stasiun Sewugalur
Setelah selesai menelusuri komplek bagian dalam eks PG. Sewugalur atau yang akrab disebut warga sekitar sebagai Mbabrik. Kotatua lanjutkan dengan menelusuri bekas keberadaan eks Stasiun Sewugalur, menurut analisis kotatua, bahwa dahulunya bekas lokasi stasiun itu berada diarea yang sekarang digunakan untuk Gedung SMP Negeri 2 Galur. Dahulunya dimungkinkan ada empat jalur rel yang berada di Stasiun Sewugalur ini dengan lebar bentang antara rel yaitu 1435 mm yang diprakasai oleh perusahaan perkereta-apian milik swasta era Kolonial Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada tahun1915-1916. Mengingat karena ini sebagai kopsstasiun atau stasiun terakhir yang berfungsi sebagai loading hasil gula dari PG. Sewugalur untuk diangkut menuju Pelabuhan Semarang (dari dalam komplek Pabrik Gula diangkut dengan menggunakan Lori, karena masih ditemukan bekas pondasi jembatan untuk lewat Lori). Disebelah baratnya terdapat rail bed yang dahulunya berfungsi untuk memutar arah lokomotif.
SMP Negeri 2 Galur adalah lokasi yang dahulunya merupakan stasiun KA Sewugalur
Pemakaman Belanda (Kerkhof)
Terakhir kotatua juga menyempatkan untuk mengunjungi serta berziarah ke Kerkhof atau makam Belanda yang terletak di sebelah selatan dari area Mbabrik atau eks komplek PG. Sewugalur. Sungguh ironis dan terharu saat kotatua sampai diarea pemakaman yang terletak di tengah persawahan agak mendekati pemukiman warga tersebut. Kondisinya sudah tidak terawat karena ditumbuhi rumput, semak liar serta dimanfaatkan oleh warga untuk menanam pohon pisang. Posisi nisan berdiri tegak serta membujur kearah timur-barat serta membujur utara-selatan. Kotatua memperkirakan ada lebih dari sepuluh makam diarea kerkhof ini dan yang membuat hati kotatua tersentuh yaitu hampir semua nisan nama para Mendiang yang terbuat dari marmer ini telah raib dicuri oleh oknum tidak bertanggung jawab. Hanya menyisakan nama Mendiang Maria Ababell, dikarenakan mungkin susah diambil sehingga sempat patah (cuil). Kotatua hanya turut mendoakan semoga Mendiang dimuliakan oleh TuhanYang Maha Esa dan suatu saat nanti bisa dikunjungi oleh kerabat Mendiang yang berada di Belanda.
Kerkhof (Makam Belanda) dengan kondisi papan nama Mendiang yang terbuat dari batu marmer telah hilang dicuri
Penulis : Hari Kurniawan
(Kotatuaku Yogyakarta)
Monday, May 11, 2015
pembukaan Cupu Kiai Panjolo l 22 September 2014
pembukaan Cupu Kiai Panjolo
tanggal 22 September 2014
[berlaku selama 1 tahun]
Kidul wetan ana klika kayu.
Kidul wetan ana gambar iwak laut.
Kidul wetan ana wujude sego aking.
Sisih wetan ana gambar pedang samurai.
Sisih wetan ana gambar telapak sikil gedhe.
Sisih wetan ana gambar naga ungkur-ungkuran marep mengalor lan mengidul.
Sisih wetan ana wujude kembang suket.
Sisih wetan ana angka 4, sisih kidul ndas sapi.
Sisih wetan ana gambar pitik babon marep mengidul.
sisih wetan kemule kotor.
sisih Kidul kulon ana wong wedok lemu madhep ngidul ngulon.
Sisih kulon ana gambar wong lanang ukuran dada munggah/setengah badan.
Sisih lor ana gambar bal/bola cacah loro,
Sisih lor ana wujud senar.
Sisih lor ana wujude pasir.
Sisih lor ana gambar atlit putri.
Sisih lor ana gambar huruf LP werna abang wujude.
Sisih lor kulon ana wujude godhong jati.
Sisih lor kulon ana angka 31.
Kemule seko wiwitan tekan sak protelon kemrisik garing.
Kemule nglemek tur resik.
Kemule 18 lembar garing, sing nglemek mung 1.
Kemule nglemek maneh selembar.
Kemule selembar trotol-trotol abang, mubeng.
Kemule sing tengah sisih wetan kulon kotor, sing elor lan kidul resik.
Tutupe peti sisih tengah bolong, yen tahun wingi bolonge ing iring wetan.
tanggal 22 September 2014
[berlaku selama 1 tahun]
Kidul wetan ana klika kayu.
Kidul wetan ana gambar iwak laut.
Kidul wetan ana wujude sego aking.
Sisih wetan ana gambar pedang samurai.
Sisih wetan ana gambar telapak sikil gedhe.
Sisih wetan ana gambar naga ungkur-ungkuran marep mengalor lan mengidul.
Sisih wetan ana wujude kembang suket.
Sisih wetan ana angka 4, sisih kidul ndas sapi.
Sisih wetan ana gambar pitik babon marep mengidul.
sisih wetan kemule kotor.
sisih Kidul kulon ana wong wedok lemu madhep ngidul ngulon.
Sisih kulon ana gambar wong lanang ukuran dada munggah/setengah badan.
Sisih lor ana gambar bal/bola cacah loro,
Sisih lor ana wujud senar.
Sisih lor ana wujude pasir.
Sisih lor ana gambar atlit putri.
Sisih lor ana gambar huruf LP werna abang wujude.
Sisih lor kulon ana wujude godhong jati.
Sisih lor kulon ana angka 31.
Kemule seko wiwitan tekan sak protelon kemrisik garing.
Kemule nglemek tur resik.
Kemule 18 lembar garing, sing nglemek mung 1.
Kemule nglemek maneh selembar.
Kemule selembar trotol-trotol abang, mubeng.
Kemule sing tengah sisih wetan kulon kotor, sing elor lan kidul resik.
Tutupe peti sisih tengah bolong, yen tahun wingi bolonge ing iring wetan.
Sunday, May 10, 2015
Saturday, May 9, 2015
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 21
Jurnal perjalanan hidup Ki Ageng Prawira Purba
1. Dihadapan Sultan dan tamu-tamu Belanda Ki Ageng Prawira Purba unjuk kesaktian, awal peristiwa ini menjadi warna perjalanan hidup Ki Ageng dalam pengabdian perjuangan sopiritual.
2. Di Klaten Ny. Tan Seng Kang diorbitkan dalam praktek kasepuhan, ini untuk menghimpun orang dengan sarana wadah spiritual.
3. Di Dogongan Imogiri Nyai Sarimulya alias ibu Grudug mengorbit dengan sumur keramatnya, yang akhirnya juga merupakan sarana berkumpulnya orang dengan orientasi spiritual.
4. Di Polaman Payaman Sedayu, Belik keramat dengan makam kuno Mojopahit mengorbit pula Wonosemito dengan ketenaran air yang tidak dapat mendidih.
5. Di Sorosutan Rumah Mbok Beruk akhirnya menjadi tempat orang berkumpul dengan kehadiran Ki Ageng Prawira Purba secara rutin.
6. Di Warak Cebongan Sleman, Kyai Warak yang dalang rumahnya juga menjadi tempat berkumpul acara seni dan spiritual.
Antara Khizib dan Kesaktian
Khizib.
Beraneka ragam khizib terjadi dari tingkah laku RB Prawira Purba, semuanya mempunyai arti untuk orang lain. Mengandung makna atau sindiran pada peristiwa yang akan terjadi (ramalan). Dapat bermakna malapetaka atau sebaliknya.
Khizib
Berarti kejadian/kelebihan yang terjadi diluar kesadaran sang pelaku (sang auliya). Terjadi, sang auliya hanya ingin berbuat sesuatu yang datangnya diluar kesadaran, suatu spontanitas perintah gerak dari indera ke enam. Indera ke enam terjadi akibat sang manusia terbiasa tafakur atau meditasi kepada Tuhan. Hasil dari pendekatan diri kepada Tuhan adalah ketajaman atau kepekaan menanggapi alam sekitarnya.
Khizib menurut pendapat orang yang menyaksikan ada yang menganggap sebagai kesaktian. Khizib terjadi hanya sekali untuk satu peristiwa dan tidak dapat diulang. Terjadi dengan kekuasaan Tuhan.
Khizib hanya terjadi waktu sipelaku sedang dekat kepada Tuhan.
Mungkin yang diartikan khizib oleh penulis disini dalam istilah islam dikenal sebagai karomah atau ma’unah atau pertolongan tuhan. Artinya peristiwa-peristiwa adikodrati yang terjadi adalah berkat kekuasaan Tuhan tanpa adanya faktor ke”diri”an dari sang pelaku. Khizib ini dalam istilah kejawen dapat terjadi karena bersih/sucinya diri manusia, sehingga dapat menangkap sinyal-sinyal Tuhan yang masuk ke dalam hatinya. Peristiwa-peristiwa yang terkadang terasa keajaibannya justru saat sudah lewat. Selain contoh peristiwa-peristiwa yang dialami Ki Ageng Prawira Purba.
Contoh dapat dimisalkan seorang yang dekat dengan Tuhan akan berangkat ke Kota A melalui jalan “B” akan tetapi ditengah jalan tiba-tiba orang tersebut ganti melalui jalan “C” sesampainya di Kota A dia baru menyadari bahwa apabila dia melalui jalan B ternyata ada jalan longsor di jalan A tersebut. Demikian adalah salah satu contoh kelebihan yang diperoleh manusia yang selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kesaktian
Ditimbulkan oleh daya cipta atau atas kehendak pelaku. Kesaktian dapat diulang sewaktu waktu. Kesaktian biasanya bersifat local atau terbatas pada satu faktor peristiwa, missal berjalan di atas air, kebal, bisa terbang, meloncat jauh-jauh,dll.
Beberapa Catatan peristiwa khizib RB Prawira Purba yang lain:
1. Suatu ketika Ki Ageng Prawiro Purba menari-nari mengelilingi seseorang . Ternyata tidak lama kemudain orang tersebut meninggal dunia. Peristiwa ini kalau dianggap kesaktian sama artinya Ki Ageng telah melanggar aturan berbuat pidana. Akan tetapi bila ditafsirkan sebagai khizib maka beliau merasa ada dorongan hati untuk berbuat menari dan mengelilingi seseorang, adapun firasat menari mengelilingi yang kemudian hari berakibat meninggalnya seseorang baru diketahui artinya beberapa waktu kemudian setelah meninggalnya orang bersangkutan.
2. Peristiwa serupa terjadi pada acara lain dimana Ki Ageng menari sambil mengelilingi seseorang. Dan karena telah mendapat info bahwa peristiwa serupa yang pernah terjadi membawa firasat meninggalnya seseorang, maka berundinglah orang tersebut dengan keluarganya, maka mulailah dia berhati-hati dalam segala sikap perbuatan, memperbanyak taubat,dll. Kenyataan yang terjadi kemudian justru orang tersebut panjang umur dan karier kehidupannya menanjak.
3. Dari kedua peristiwa ini terdapat beberapa persamaan tingkah laku Ki Ageng, tetapi ternyata juga terdapat perbedaan sedikit yang ternyata memiliki makna yang jauh berbeda.
Orang yang dikelilingi dengan putaran kea rah kiri merupakan isyarat orang tersebut sudah mendekati ajalnya. Sedangkan yang dikelilingi putaran arah kanan adalah isyarat nasib baik dimasa depan.
4. Seorang keluarga dekat yang pernah didatangi Ki Ageng, dimana Ki Ageng langsung masuk rumah, menguras kamar mandi, dan semua tempat air dikuras termasuk gentong. Isyarat ini merupakan perlambang dimana pemilik rumah menghadapi kerugian dalam perdagangandan harta kekayaannya habis.
5. Suatu ketika Ki Ageng di Godean mengambil kendi, seseorang disiram dengan kendi tersebut juga disembur air kendi. Satu minggu kemudian orang tersebut meninggal dunia, kiranya hal tersebut isyarat kematian.
6. Isyarat tanda bintang terang Kejadian di Malioboro, seseorang Magelang datang di Yogya dengan naik sepeda dan waktu berpapasan dengan Ki Ageng di Malioboro, Ki Ageng menepuk nepuk tangan sambil berkata ono kodok bisa mabur, ono kodok bisa mabur (ada katak bisa terbang,ada katak bisa terbang).
Orang tersebut turun dari sepeda terus berjalan sambil berpikir makna isarah tersebut. Sampai di Magelang isarah ini dibicarakan dengan anak istrinya. Untuk menjaga kemungkinan yang bakal terjadi baik atau jelek, dilakukan selamatan dengan mengundang tetangga untuk memanjatkan doa kepada Tuhan agar diampuni segala dosa serta diselamatkan dari bahaya. Pada kesempatan yang lain juga dikunjungi jalan Tukangan 17 Rumah Ki Ageng untuk minta maaf bila terdapat kesalahan. Pada tahun selanjutnya terjadi kedudukan jabatan orang tersebut makin menanjak, juga segala usahanya berhasil. Mungkin ungkapan “ada katak bisa terbang” menunjukkan bahwa orang dengan kedudukan rendah (katak) ternyata bisa meraih cita-citanya yang tinggi (terbang).
repost kaskus TS "mdiwse"
1. Dihadapan Sultan dan tamu-tamu Belanda Ki Ageng Prawira Purba unjuk kesaktian, awal peristiwa ini menjadi warna perjalanan hidup Ki Ageng dalam pengabdian perjuangan sopiritual.
2. Di Klaten Ny. Tan Seng Kang diorbitkan dalam praktek kasepuhan, ini untuk menghimpun orang dengan sarana wadah spiritual.
3. Di Dogongan Imogiri Nyai Sarimulya alias ibu Grudug mengorbit dengan sumur keramatnya, yang akhirnya juga merupakan sarana berkumpulnya orang dengan orientasi spiritual.
4. Di Polaman Payaman Sedayu, Belik keramat dengan makam kuno Mojopahit mengorbit pula Wonosemito dengan ketenaran air yang tidak dapat mendidih.
5. Di Sorosutan Rumah Mbok Beruk akhirnya menjadi tempat orang berkumpul dengan kehadiran Ki Ageng Prawira Purba secara rutin.
6. Di Warak Cebongan Sleman, Kyai Warak yang dalang rumahnya juga menjadi tempat berkumpul acara seni dan spiritual.
Antara Khizib dan Kesaktian
Khizib.
Beraneka ragam khizib terjadi dari tingkah laku RB Prawira Purba, semuanya mempunyai arti untuk orang lain. Mengandung makna atau sindiran pada peristiwa yang akan terjadi (ramalan). Dapat bermakna malapetaka atau sebaliknya.
Khizib
Berarti kejadian/kelebihan yang terjadi diluar kesadaran sang pelaku (sang auliya). Terjadi, sang auliya hanya ingin berbuat sesuatu yang datangnya diluar kesadaran, suatu spontanitas perintah gerak dari indera ke enam. Indera ke enam terjadi akibat sang manusia terbiasa tafakur atau meditasi kepada Tuhan. Hasil dari pendekatan diri kepada Tuhan adalah ketajaman atau kepekaan menanggapi alam sekitarnya.
Khizib menurut pendapat orang yang menyaksikan ada yang menganggap sebagai kesaktian. Khizib terjadi hanya sekali untuk satu peristiwa dan tidak dapat diulang. Terjadi dengan kekuasaan Tuhan.
Khizib hanya terjadi waktu sipelaku sedang dekat kepada Tuhan.
Mungkin yang diartikan khizib oleh penulis disini dalam istilah islam dikenal sebagai karomah atau ma’unah atau pertolongan tuhan. Artinya peristiwa-peristiwa adikodrati yang terjadi adalah berkat kekuasaan Tuhan tanpa adanya faktor ke”diri”an dari sang pelaku. Khizib ini dalam istilah kejawen dapat terjadi karena bersih/sucinya diri manusia, sehingga dapat menangkap sinyal-sinyal Tuhan yang masuk ke dalam hatinya. Peristiwa-peristiwa yang terkadang terasa keajaibannya justru saat sudah lewat. Selain contoh peristiwa-peristiwa yang dialami Ki Ageng Prawira Purba.
Contoh dapat dimisalkan seorang yang dekat dengan Tuhan akan berangkat ke Kota A melalui jalan “B” akan tetapi ditengah jalan tiba-tiba orang tersebut ganti melalui jalan “C” sesampainya di Kota A dia baru menyadari bahwa apabila dia melalui jalan B ternyata ada jalan longsor di jalan A tersebut. Demikian adalah salah satu contoh kelebihan yang diperoleh manusia yang selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kesaktian
Ditimbulkan oleh daya cipta atau atas kehendak pelaku. Kesaktian dapat diulang sewaktu waktu. Kesaktian biasanya bersifat local atau terbatas pada satu faktor peristiwa, missal berjalan di atas air, kebal, bisa terbang, meloncat jauh-jauh,dll.
Beberapa Catatan peristiwa khizib RB Prawira Purba yang lain:
1. Suatu ketika Ki Ageng Prawiro Purba menari-nari mengelilingi seseorang . Ternyata tidak lama kemudain orang tersebut meninggal dunia. Peristiwa ini kalau dianggap kesaktian sama artinya Ki Ageng telah melanggar aturan berbuat pidana. Akan tetapi bila ditafsirkan sebagai khizib maka beliau merasa ada dorongan hati untuk berbuat menari dan mengelilingi seseorang, adapun firasat menari mengelilingi yang kemudian hari berakibat meninggalnya seseorang baru diketahui artinya beberapa waktu kemudian setelah meninggalnya orang bersangkutan.
2. Peristiwa serupa terjadi pada acara lain dimana Ki Ageng menari sambil mengelilingi seseorang. Dan karena telah mendapat info bahwa peristiwa serupa yang pernah terjadi membawa firasat meninggalnya seseorang, maka berundinglah orang tersebut dengan keluarganya, maka mulailah dia berhati-hati dalam segala sikap perbuatan, memperbanyak taubat,dll. Kenyataan yang terjadi kemudian justru orang tersebut panjang umur dan karier kehidupannya menanjak.
3. Dari kedua peristiwa ini terdapat beberapa persamaan tingkah laku Ki Ageng, tetapi ternyata juga terdapat perbedaan sedikit yang ternyata memiliki makna yang jauh berbeda.
Orang yang dikelilingi dengan putaran kea rah kiri merupakan isyarat orang tersebut sudah mendekati ajalnya. Sedangkan yang dikelilingi putaran arah kanan adalah isyarat nasib baik dimasa depan.
4. Seorang keluarga dekat yang pernah didatangi Ki Ageng, dimana Ki Ageng langsung masuk rumah, menguras kamar mandi, dan semua tempat air dikuras termasuk gentong. Isyarat ini merupakan perlambang dimana pemilik rumah menghadapi kerugian dalam perdagangandan harta kekayaannya habis.
5. Suatu ketika Ki Ageng di Godean mengambil kendi, seseorang disiram dengan kendi tersebut juga disembur air kendi. Satu minggu kemudian orang tersebut meninggal dunia, kiranya hal tersebut isyarat kematian.
6. Isyarat tanda bintang terang Kejadian di Malioboro, seseorang Magelang datang di Yogya dengan naik sepeda dan waktu berpapasan dengan Ki Ageng di Malioboro, Ki Ageng menepuk nepuk tangan sambil berkata ono kodok bisa mabur, ono kodok bisa mabur (ada katak bisa terbang,ada katak bisa terbang).
Orang tersebut turun dari sepeda terus berjalan sambil berpikir makna isarah tersebut. Sampai di Magelang isarah ini dibicarakan dengan anak istrinya. Untuk menjaga kemungkinan yang bakal terjadi baik atau jelek, dilakukan selamatan dengan mengundang tetangga untuk memanjatkan doa kepada Tuhan agar diampuni segala dosa serta diselamatkan dari bahaya. Pada kesempatan yang lain juga dikunjungi jalan Tukangan 17 Rumah Ki Ageng untuk minta maaf bila terdapat kesalahan. Pada tahun selanjutnya terjadi kedudukan jabatan orang tersebut makin menanjak, juga segala usahanya berhasil. Mungkin ungkapan “ada katak bisa terbang” menunjukkan bahwa orang dengan kedudukan rendah (katak) ternyata bisa meraih cita-citanya yang tinggi (terbang).
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 20
Ceritera Kebangkitan setelah kematian
Senen Legi tanggal 5 Maret 1933
Pada hari tersebut dirumah Purbaningratan orang sibuk memandikan jenazah Ki Ageng Prawira Purba, tetapi dibeberapa tempat lain terjadi peristiwa yang bertentangan dengan kenyataan di Purbaningratan tersebut.
Prambanan
Di Prambanan pada saat yang sama terlihat Ki Ageng Prawira Purba berjalan sambil membawa pisang raja setangkep (sesisir) serta membawa sirih secandik.
Muntilan
Di Muntilan Magelang Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada orang-orang yang ditemui.
Alun-alun Pungkuran
Tempat tersebut relative tidak jauh dari Purbaningratanpada saat yang sama Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada kepada orang-orang yang berada di warung.
Di beberapa tempat yang lain telah terlihat ki Ageng Prawira Purba akan tetapi tidak terjadi komunikasi antar yang melihat dengan yang dilihat. Yang menyaksikan kejadian tersebut karena berlangsung singkat tidak sempat berfikir menyadari kejanggalannya.
Atas beberapa kejadian tersebut sempat anggapan umum yang meragukan kematian Ki Ageng Prawira Purba. Hal tersebut berkembang menjadi desas desus yang meluas sehingga pihak berwenang hendak melakukan pembongkaran untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut, tetapi karena fihak keluarga keberatan maka rencana tersebut tidak berlanjut.
Selasa Pahing 6 Maret 1933
Dengan cara berpakaian yang gembel dan perilaku terkesan angina-anginan, Ndara Purba sebenarnya dapat bergerak bebas, berjalan sekehendak hati, termasuk pergi menemui siapapun yang beliau kehendaki tanpa ada penghalang. Dari desa dan gubug reot hingga istana keraton pun tidak pernah gagal dan selalu diterima dengan baik.
Pada hari Selasa Pahing 6 Maret 1933 atau satu hari setelah dimakamkan Ki Ageng Prawira Purba terlihat menghadap Sri Susuhunan Paku Buwana XI di Keraton Surakarta. Kunjungan tersebut diterima dengan wajar sebagaimana mestinya. Tetapi pada saat itu dalam hati Sri Susuhunan sempat timbul tanda Tanya dalam hati karena terdengar berita kematian Ndara Purba, bahkan telah dikebumikan sehari sebelumnya. Tetapi kenapa hari ini yang bersangkutan hadir dan menghadap ditempat itu?.
Sebenarnya siapakah yang dikebumikan di makam Karang Kebolotan Sekar Megar Sore kemarin hari?. Akhirnya untuk mendapat kejelasan maka Sri Susuhunan secara diam-diam memerintahkan abdi dalem untuk datang ke Yogyakarta dengan berkendaraan mobil.
Setelah melakukan pengecekan maka abdi dalem kembali ke Keraton Surakarta untuk menyampaikan informasi yang didapatnya di Yogyakarta, dimana memang kemarin sudah dilakukan upacara penguburan. Akan tetapi pada saat abdi dalem tersebut kembali di Surakarta, sang tamu (Ndara Purba) yang menghadap Sri Susuhunan telah terlebih dahulu mohon diri untuk pulang.
Sekali lagi Ki Ageng Prawira Purba membuat kejutan yang tidak kepalang tanggung dan yang ditemui justeru penguasa tertinggi di Surakarta. Bagi seorang Raja peristiwa tersebut dihadapi dengan bijaksana demi menghormati ilmu Ki Ageng Prawira Purba.
Tahun 1934
Di Blora terdapat seorang murid Ki Ageng Prawira Purba yang sudah lama tidak datang ke Yogyakarta sehingga beberapa saat hubungan agak terputus. Demikian pula berita terakhir dari Yogyakarta mengenai wafatnya Ndara Purba sang murid tersebut sama sekali tidak mengetahui.
Pada suatu hari di tahun 1934 datang Ndara Purba menengok sang murid dan terjadilah dialog sebagai berikut : Tanya Ki Ageng “Sampun sawatawis dangu panjenengan mboten rawuh dateng Ngayogya ?” (Sudah lama anda tidak datang ke Yogya?)
Dijawab oleh si murid “punten dalem sewu, nembe ribet pedamelan, ugi ingkang kagem sangu dereng nglempak ndara. Bilih Gusti marengaken minggu ngajeng dalem sowan”.(Maaf, sedang sibuk, juga uang belum terkumpul tuan, kalau diperbolehkan minggu depan saya akan menghadap ke Yogya).
Kata Ki Ageng Prawira Purba “Kaleresan ngaturi priksa pindah, menawi suwau kula wonten ndalem Tukangan sakpunika kula wonten Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, dene papanipun kapernah wonten Kalurahan Tegal Tahunan Semaki.” (Sekalian memberi tahu kalau saya sekarang sudah pindah, kalau tadinya di Tukangan, sekarang di Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, adapun tempatnya di Kalurahan Tegal Tahunan Semaki).
Jawab si murid “o inggih ndara, mbenjang dalem tantu madosi sowan” (o tentu tuan, besok saya pasti mencari tempatnya untuk menghadap).
Saat Ki Ageng Prawira Purba akan pulang sempat melihat burung perkutut milik tuan rumah, dan katanya “Kok Sae nggih peksine” (kok bagus ya burungnya).
Yang kemudian dijawab oleh tuan rumah “Inggih ndara radi sae, menawi nandalem kersakaken sumangga mbenjang pindah dalem caosaken” (iya tuan, agak bagus, kalau tuan berkenan besok sekalian kami haturkan).
Kata Ki Ageng “ O inggih matur kasuwun, sampun kasupen nggih” (oh ya, terimakasih jangan kelupaan ya).
Seminggu kemudian di statsiun Lempuyangan terdapat penumpang laki-laki yang turun dengan membawa dua buah kurungan burung perkutut. Orang tersebut dari stasiun berjalan kaki sambil Tanya kesana-sini mencari alamat Tegal Tahunan-Semaki.
Tepat jam 16.00 orang Blora tersebut telah sampai di tempat yang dituju. Di pintu gerbang Karang Kebolotan diterima oleh yang bertugas hari itu romo Somodani dan Raden Projolelono. Kehadirannya diterima dengan baik dengan basa basi sambil melepaskan lelah setelah seharian menempuh perjalanan, yang penting sudah sampai kerumah Ki Ageng Prawira Purba, nanti kalau sudah lepas lelah dan pikiran kembali tenang baru akan menghadap Ki Ageng Prawira Purba. Kebetulan sang tamu yang juga murid belia cukup memahami kebiasaan Ndara Purba yang sering keluar rumah, sehingga bila nanti terpaksa harus mencari keluar pun sudah dalam kondisi segar. Setelah hari semakin sore dan badan sudah segar kembali maka bertanyalah tamu kepada romo Somodani, dimanakah kira-kira dia dapat menghadap Ndara Prawira Purba. Maka dijawablah oleh room Somodani bahwa Ndara Purba telah wafat. Tetapi sang tamu menyangkal tidak percaya, terlebih mendapat penjelasan bahwa telah meninggal setahun yang lalu. Keduanya sempat bersitegang mempertahankan pendapat masing-masing, maka akhirnya si tamu diajak oleh romo Somodani masuk ke dalam rumah.
Betapa terkejutnya si tamu dari Blora tersebut demi menyaksikan nisan Ndara Purba, terpukau dan terdiam sekian lama. Perasaan sedih dan haru si murid karena tidak mendapat kesempatan untuk ikut menghantarkan jenazah orang yang ia kagumi. Dia pun menundukkan kepala memusatkan segala cipta rasa mengheningkan cipta kepada Ilahi dengan rasa syukur akan perjalanan yang dia saksikan, perjalanan seorang auliya yang telah mengorbankan segala kepentingan jasmaninya, diabdikan untuk seluruh kemanusiaan sebagai pengejawantahan kebaktian kepada Tuhannya. Sangat hormat dan kagum orang Blora tersebut, sebagaimana di gapura telah ditulis candrasengkala yang mengartikan tahun saat dikebumikan raga Ki Ageng Prawira Purba. Tetapi dengan segala keberhasilan ilmu hidup Ki Ageng Prawira Purba, seminggu yang lalu masih dapat muncul menampakkan diri dihadapan manusia lain.
Timbul pula pertanyaan di hatinya apakah betul sudah wafatkah Ndara Purba?atau sekedar usaha untuk menghindarkan diri dari kerumunan simpatisan orang yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Tidak mau ambil pusing, demi rasa hormatnya maka kedatangannya yang semula berniat untuk silaturahmi dan ngabekti sebagai seorang murid kepada sang guru maka kedatangannya dilanjutkan untuk teteki. Sedang burung perkutut keduanya diserahkan kepada jurukunci.
Setelah selesai pemakaman tanggal 5 Maret tahun 1933 dengan suasanan masih berkabung di makam tersebut putra wayah simpatisan masih tugur. Atas rasa handarbeni (memiliki)juga karena semua merasa ikut berkewajiban, maka atas musyawarah simpatisan, pengagum serta putra wayah yang ada saat itu dibentuk kelompok juru kunci angkatan ke 1 terdiri dari sepuluh orang yaitu:
1. Wonosemito
2. Pawirokromo
3. Potrodento
4. Pak Dikin
5. Somodani
6. Niti Jengot
7. Raden Digdo
8. Kromo Diharjo
9. Proyo Wiyogo
10. Niti Semito.
Juru kunci angkatan pertama tersebut selanjutnya semakin berkurang karena meninggal dunia dan terdapat penambahan-ppenambahan angkatan baru. Yang paling lama bertahan adalah Wonosemito yang paling akhir meninggal dunia. Demikian selanjutnya disusul formasi baru menurut kebutuhan perkembangannya.
repost kaskus TS "mdiwse"
pic : Alun-alun Kidul (Plengkung Gading) tahun 1900
Senen Legi tanggal 5 Maret 1933
Pada hari tersebut dirumah Purbaningratan orang sibuk memandikan jenazah Ki Ageng Prawira Purba, tetapi dibeberapa tempat lain terjadi peristiwa yang bertentangan dengan kenyataan di Purbaningratan tersebut.
Prambanan
Di Prambanan pada saat yang sama terlihat Ki Ageng Prawira Purba berjalan sambil membawa pisang raja setangkep (sesisir) serta membawa sirih secandik.
Muntilan
Di Muntilan Magelang Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada orang-orang yang ditemui.
Alun-alun Pungkuran
Tempat tersebut relative tidak jauh dari Purbaningratanpada saat yang sama Ki Ageng Prawira Purba membagi-bagikan pisang raja kepada kepada orang-orang yang berada di warung.
Di beberapa tempat yang lain telah terlihat ki Ageng Prawira Purba akan tetapi tidak terjadi komunikasi antar yang melihat dengan yang dilihat. Yang menyaksikan kejadian tersebut karena berlangsung singkat tidak sempat berfikir menyadari kejanggalannya.
Atas beberapa kejadian tersebut sempat anggapan umum yang meragukan kematian Ki Ageng Prawira Purba. Hal tersebut berkembang menjadi desas desus yang meluas sehingga pihak berwenang hendak melakukan pembongkaran untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut, tetapi karena fihak keluarga keberatan maka rencana tersebut tidak berlanjut.
Selasa Pahing 6 Maret 1933
Dengan cara berpakaian yang gembel dan perilaku terkesan angina-anginan, Ndara Purba sebenarnya dapat bergerak bebas, berjalan sekehendak hati, termasuk pergi menemui siapapun yang beliau kehendaki tanpa ada penghalang. Dari desa dan gubug reot hingga istana keraton pun tidak pernah gagal dan selalu diterima dengan baik.
Pada hari Selasa Pahing 6 Maret 1933 atau satu hari setelah dimakamkan Ki Ageng Prawira Purba terlihat menghadap Sri Susuhunan Paku Buwana XI di Keraton Surakarta. Kunjungan tersebut diterima dengan wajar sebagaimana mestinya. Tetapi pada saat itu dalam hati Sri Susuhunan sempat timbul tanda Tanya dalam hati karena terdengar berita kematian Ndara Purba, bahkan telah dikebumikan sehari sebelumnya. Tetapi kenapa hari ini yang bersangkutan hadir dan menghadap ditempat itu?.
Sebenarnya siapakah yang dikebumikan di makam Karang Kebolotan Sekar Megar Sore kemarin hari?. Akhirnya untuk mendapat kejelasan maka Sri Susuhunan secara diam-diam memerintahkan abdi dalem untuk datang ke Yogyakarta dengan berkendaraan mobil.
Setelah melakukan pengecekan maka abdi dalem kembali ke Keraton Surakarta untuk menyampaikan informasi yang didapatnya di Yogyakarta, dimana memang kemarin sudah dilakukan upacara penguburan. Akan tetapi pada saat abdi dalem tersebut kembali di Surakarta, sang tamu (Ndara Purba) yang menghadap Sri Susuhunan telah terlebih dahulu mohon diri untuk pulang.
Sekali lagi Ki Ageng Prawira Purba membuat kejutan yang tidak kepalang tanggung dan yang ditemui justeru penguasa tertinggi di Surakarta. Bagi seorang Raja peristiwa tersebut dihadapi dengan bijaksana demi menghormati ilmu Ki Ageng Prawira Purba.
Tahun 1934
Di Blora terdapat seorang murid Ki Ageng Prawira Purba yang sudah lama tidak datang ke Yogyakarta sehingga beberapa saat hubungan agak terputus. Demikian pula berita terakhir dari Yogyakarta mengenai wafatnya Ndara Purba sang murid tersebut sama sekali tidak mengetahui.
Pada suatu hari di tahun 1934 datang Ndara Purba menengok sang murid dan terjadilah dialog sebagai berikut : Tanya Ki Ageng “Sampun sawatawis dangu panjenengan mboten rawuh dateng Ngayogya ?” (Sudah lama anda tidak datang ke Yogya?)
Dijawab oleh si murid “punten dalem sewu, nembe ribet pedamelan, ugi ingkang kagem sangu dereng nglempak ndara. Bilih Gusti marengaken minggu ngajeng dalem sowan”.(Maaf, sedang sibuk, juga uang belum terkumpul tuan, kalau diperbolehkan minggu depan saya akan menghadap ke Yogya).
Kata Ki Ageng Prawira Purba “Kaleresan ngaturi priksa pindah, menawi suwau kula wonten ndalem Tukangan sakpunika kula wonten Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, dene papanipun kapernah wonten Kalurahan Tegal Tahunan Semaki.” (Sekalian memberi tahu kalau saya sekarang sudah pindah, kalau tadinya di Tukangan, sekarang di Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, adapun tempatnya di Kalurahan Tegal Tahunan Semaki).
Jawab si murid “o inggih ndara, mbenjang dalem tantu madosi sowan” (o tentu tuan, besok saya pasti mencari tempatnya untuk menghadap).
Saat Ki Ageng Prawira Purba akan pulang sempat melihat burung perkutut milik tuan rumah, dan katanya “Kok Sae nggih peksine” (kok bagus ya burungnya).
Yang kemudian dijawab oleh tuan rumah “Inggih ndara radi sae, menawi nandalem kersakaken sumangga mbenjang pindah dalem caosaken” (iya tuan, agak bagus, kalau tuan berkenan besok sekalian kami haturkan).
Kata Ki Ageng “ O inggih matur kasuwun, sampun kasupen nggih” (oh ya, terimakasih jangan kelupaan ya).
Seminggu kemudian di statsiun Lempuyangan terdapat penumpang laki-laki yang turun dengan membawa dua buah kurungan burung perkutut. Orang tersebut dari stasiun berjalan kaki sambil Tanya kesana-sini mencari alamat Tegal Tahunan-Semaki.
Tepat jam 16.00 orang Blora tersebut telah sampai di tempat yang dituju. Di pintu gerbang Karang Kebolotan diterima oleh yang bertugas hari itu romo Somodani dan Raden Projolelono. Kehadirannya diterima dengan baik dengan basa basi sambil melepaskan lelah setelah seharian menempuh perjalanan, yang penting sudah sampai kerumah Ki Ageng Prawira Purba, nanti kalau sudah lepas lelah dan pikiran kembali tenang baru akan menghadap Ki Ageng Prawira Purba. Kebetulan sang tamu yang juga murid belia cukup memahami kebiasaan Ndara Purba yang sering keluar rumah, sehingga bila nanti terpaksa harus mencari keluar pun sudah dalam kondisi segar. Setelah hari semakin sore dan badan sudah segar kembali maka bertanyalah tamu kepada romo Somodani, dimanakah kira-kira dia dapat menghadap Ndara Prawira Purba. Maka dijawablah oleh room Somodani bahwa Ndara Purba telah wafat. Tetapi sang tamu menyangkal tidak percaya, terlebih mendapat penjelasan bahwa telah meninggal setahun yang lalu. Keduanya sempat bersitegang mempertahankan pendapat masing-masing, maka akhirnya si tamu diajak oleh romo Somodani masuk ke dalam rumah.
Betapa terkejutnya si tamu dari Blora tersebut demi menyaksikan nisan Ndara Purba, terpukau dan terdiam sekian lama. Perasaan sedih dan haru si murid karena tidak mendapat kesempatan untuk ikut menghantarkan jenazah orang yang ia kagumi. Dia pun menundukkan kepala memusatkan segala cipta rasa mengheningkan cipta kepada Ilahi dengan rasa syukur akan perjalanan yang dia saksikan, perjalanan seorang auliya yang telah mengorbankan segala kepentingan jasmaninya, diabdikan untuk seluruh kemanusiaan sebagai pengejawantahan kebaktian kepada Tuhannya. Sangat hormat dan kagum orang Blora tersebut, sebagaimana di gapura telah ditulis candrasengkala yang mengartikan tahun saat dikebumikan raga Ki Ageng Prawira Purba. Tetapi dengan segala keberhasilan ilmu hidup Ki Ageng Prawira Purba, seminggu yang lalu masih dapat muncul menampakkan diri dihadapan manusia lain.
Timbul pula pertanyaan di hatinya apakah betul sudah wafatkah Ndara Purba?atau sekedar usaha untuk menghindarkan diri dari kerumunan simpatisan orang yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Tidak mau ambil pusing, demi rasa hormatnya maka kedatangannya yang semula berniat untuk silaturahmi dan ngabekti sebagai seorang murid kepada sang guru maka kedatangannya dilanjutkan untuk teteki. Sedang burung perkutut keduanya diserahkan kepada jurukunci.
Setelah selesai pemakaman tanggal 5 Maret tahun 1933 dengan suasanan masih berkabung di makam tersebut putra wayah simpatisan masih tugur. Atas rasa handarbeni (memiliki)juga karena semua merasa ikut berkewajiban, maka atas musyawarah simpatisan, pengagum serta putra wayah yang ada saat itu dibentuk kelompok juru kunci angkatan ke 1 terdiri dari sepuluh orang yaitu:
1. Wonosemito
2. Pawirokromo
3. Potrodento
4. Pak Dikin
5. Somodani
6. Niti Jengot
7. Raden Digdo
8. Kromo Diharjo
9. Proyo Wiyogo
10. Niti Semito.
Juru kunci angkatan pertama tersebut selanjutnya semakin berkurang karena meninggal dunia dan terdapat penambahan-ppenambahan angkatan baru. Yang paling lama bertahan adalah Wonosemito yang paling akhir meninggal dunia. Demikian selanjutnya disusul formasi baru menurut kebutuhan perkembangannya.
repost kaskus TS "mdiwse"
pic : Alun-alun Kidul (Plengkung Gading) tahun 1900
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 19
Upacara Pangrukti Jenazah
Sebenarnya Pak Karto yang tinggal di Ngadisuryan bukanlah saudara Ki Ageng Prawira Purba melainkan hanya kenalan dekat. Walaupun sudah seperti saudara sendiri, akan tetapi Pak Karto sesuai adat jawa tetaplah menjaga dan menghormati Trah keluarga Ndara Purba. Semua urusan pangrukti jenazah diserahkan kepada keluarga, dan atas musyawarah keluarga maka jenazah diboyong untuk dilakukan pangrukti dirumah saudara Ndara Purba yaitu rumah milik Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Purbaningrat di jalan Rotowijayan. Malam itu jenazah dipindahkan ke Purbaningratan Rotowijayan.
Dalam satu malam saja berita sudah menyebar luas, Ndara Purba yang dikenal luas masyarakat Yogyakarta telah meninggal. Keesokan harinya Senin Legi 5 Maret 1933 tamu meluber memenuhi jalan Rotowijayan dari timur hingga barat.
Upacara Pangrukti Layon (jenazah) dimulai jam 10.00 dilanjutkan upacara sembahyang jenazah dilakukan di Masjid Gedhe (masjid agung). Setelah disembahyangkan jenazah diberangkatkan ke Tahunan Semaki.
Jenazah yang rencananya akan diberangkatkan menggunakan kereta ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Penduduk yang ikut hadir menyampaikan penghormatan terakhir membludak sehingga jalanan penuh. Dari Purbaningratan hingga ke masjid agung, dan masjid agung hingga depan Kantor Pos Besar (samping BI).Dari Kantor Pos ke timur, Pakualaman, Sentul hingga Tahunan penduduk berderet memenuhi jalan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa peti jenazah tidak sempat dipikul karena penduduk berebut untuk ikut memikul hingga akhirnya peti jenazah berjalan secara berantai dari penduduk ke penduduk lainnya. Bahkan Kain lurup (penutup peti/jenazah) sudah habis saat sampai di tempat pemakaman Semaki. Pelayat berebut meminta secarik kain lurup sebagai kenang-kenangan terakhir dari Ndara Purba sang manusia pinilih.
Pagi itu di Karang Kebolotan Sekar Megar Sore terjadi kesibukan luar biasa, rumah dibersihkan juga gentan. Liang lahat yang rencananya akan diisi jenazah memancar mengeluarkan air dengan deras. Walaupun sudah dikuras terus menerus air tetap memancar. Diantara para pengunjung ada yang mencium bahwa air tersebut berbau wangi, ada juga yang mengatakan bahwa bumipun ikut menangisi seorang manusia pilihan. Hingga kedatangan jenazah di makam tersebut air masih terus memancar keluar. Hal tersebut membuat pelayat mulai resah, maka untuk menguasai keadaan dan untuk menghindarkan dari fitnah dan pemahaman yang kurang baik maka Kakak Sulung Ndara Purba yaitu KRT Purbakusuma yang saat itu menjabat sebagai wedana Kalasan berkata kepada jenazah “ Dimas Prawira Purba, olehe siram iki uwis dhisik, berkahe dikersakake kagem putra wayah kabeh” (Dimas Prawira Purba mandinya diselesaikan dahulu, berkahnya diminta untuk anak cucu semua). Maka surutlah air yang menggenang, dan pemakaman dapat dilangsungkan dengan baik. Ada berbagai macam pendapat terkait hal tersebut, ada yang mengatakan jurukunci yang berkata terhadap jenazah Ndara Purba, ada juga yang mengatakan bahwa surutnya air dikarenakan perbawa pusaka Ndara Purba.
Pada pemakaman tersebut disebutkan bahwa yang dimakamkan hari itu adalah:
Raden Mas Kusrin : Nama yang diberikan oleh orang tua semenjak lahir
Raden Bekel Prawira Purba : Nama dari Keraton dengan jabatan Bekel
Kyai Jegot : Nama Sebutan dari sikap hidup beliau yang sudah melepas dari ketergantungan duniawi
Kyai Sri Sedana : Nama pengabdiannya selama menghayati hidup penuh penderitaan, keluar masuk desa
semata-mata hidupnya untuk mengabdi kemanusiaan
Kyai Semar : Nama dalam perjalanan hidup yang selalu bertindak sebagai pamomong yang selalu
memberi kesempatan orang lain bangkit kehidupannya.
Dan bertempat pada tiang timur utara pendapa.
Saat itu kepada para simpatisan setelah pulang lelayu dianjurkan sesaji :
1. apem tangkeban dengan jumlah sesuai dengan jumlah keluarga.
2. Krikil kali yang diambil dari krikil kali winongo sejumlah 30 (tiga puluh) butir
3. Uang benggol dikapur separo.
Sesaji selama tiga hari tiga malam dan selesai itu dilarung.
Awal mula sesaji sendiri dilakukan sebagai upaya pengorbanan yang diiringi dengan doa, dan diharapkan doa tersebut diterima oleh Tuhan YME. Praktek sesaji pada jaman dahulu mengandung banyak arti, salah satu maksud dari sesaji yang saya ketahui adalah “Apem” sesaji apem berasal dari kata afuwun..berarti pemaaf, sehingga diharapkan sesaji tersebut perlambang permohonan agar yang didoakan dimaafkan segala dosanya. Ada juga sesaji yang menggunakan daun Kluwih disini mengandung arti Luwih atau lebih..jadi diharapkan agar yang berdoa diberi kelebihan atau keluwihan. Berdasar ilustrasi tersebut mohon agar praktek sesaji tersebut disikapi dengan kedewasaan secara spiritual.
repost kaskus TS "mdiwse"
Sebenarnya Pak Karto yang tinggal di Ngadisuryan bukanlah saudara Ki Ageng Prawira Purba melainkan hanya kenalan dekat. Walaupun sudah seperti saudara sendiri, akan tetapi Pak Karto sesuai adat jawa tetaplah menjaga dan menghormati Trah keluarga Ndara Purba. Semua urusan pangrukti jenazah diserahkan kepada keluarga, dan atas musyawarah keluarga maka jenazah diboyong untuk dilakukan pangrukti dirumah saudara Ndara Purba yaitu rumah milik Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Purbaningrat di jalan Rotowijayan. Malam itu jenazah dipindahkan ke Purbaningratan Rotowijayan.
Dalam satu malam saja berita sudah menyebar luas, Ndara Purba yang dikenal luas masyarakat Yogyakarta telah meninggal. Keesokan harinya Senin Legi 5 Maret 1933 tamu meluber memenuhi jalan Rotowijayan dari timur hingga barat.
Upacara Pangrukti Layon (jenazah) dimulai jam 10.00 dilanjutkan upacara sembahyang jenazah dilakukan di Masjid Gedhe (masjid agung). Setelah disembahyangkan jenazah diberangkatkan ke Tahunan Semaki.
Jenazah yang rencananya akan diberangkatkan menggunakan kereta ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Penduduk yang ikut hadir menyampaikan penghormatan terakhir membludak sehingga jalanan penuh. Dari Purbaningratan hingga ke masjid agung, dan masjid agung hingga depan Kantor Pos Besar (samping BI).Dari Kantor Pos ke timur, Pakualaman, Sentul hingga Tahunan penduduk berderet memenuhi jalan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa peti jenazah tidak sempat dipikul karena penduduk berebut untuk ikut memikul hingga akhirnya peti jenazah berjalan secara berantai dari penduduk ke penduduk lainnya. Bahkan Kain lurup (penutup peti/jenazah) sudah habis saat sampai di tempat pemakaman Semaki. Pelayat berebut meminta secarik kain lurup sebagai kenang-kenangan terakhir dari Ndara Purba sang manusia pinilih.
Pagi itu di Karang Kebolotan Sekar Megar Sore terjadi kesibukan luar biasa, rumah dibersihkan juga gentan. Liang lahat yang rencananya akan diisi jenazah memancar mengeluarkan air dengan deras. Walaupun sudah dikuras terus menerus air tetap memancar. Diantara para pengunjung ada yang mencium bahwa air tersebut berbau wangi, ada juga yang mengatakan bahwa bumipun ikut menangisi seorang manusia pilihan. Hingga kedatangan jenazah di makam tersebut air masih terus memancar keluar. Hal tersebut membuat pelayat mulai resah, maka untuk menguasai keadaan dan untuk menghindarkan dari fitnah dan pemahaman yang kurang baik maka Kakak Sulung Ndara Purba yaitu KRT Purbakusuma yang saat itu menjabat sebagai wedana Kalasan berkata kepada jenazah “ Dimas Prawira Purba, olehe siram iki uwis dhisik, berkahe dikersakake kagem putra wayah kabeh” (Dimas Prawira Purba mandinya diselesaikan dahulu, berkahnya diminta untuk anak cucu semua). Maka surutlah air yang menggenang, dan pemakaman dapat dilangsungkan dengan baik. Ada berbagai macam pendapat terkait hal tersebut, ada yang mengatakan jurukunci yang berkata terhadap jenazah Ndara Purba, ada juga yang mengatakan bahwa surutnya air dikarenakan perbawa pusaka Ndara Purba.
Pada pemakaman tersebut disebutkan bahwa yang dimakamkan hari itu adalah:
Raden Mas Kusrin : Nama yang diberikan oleh orang tua semenjak lahir
Raden Bekel Prawira Purba : Nama dari Keraton dengan jabatan Bekel
Kyai Jegot : Nama Sebutan dari sikap hidup beliau yang sudah melepas dari ketergantungan duniawi
Kyai Sri Sedana : Nama pengabdiannya selama menghayati hidup penuh penderitaan, keluar masuk desa
semata-mata hidupnya untuk mengabdi kemanusiaan
Kyai Semar : Nama dalam perjalanan hidup yang selalu bertindak sebagai pamomong yang selalu
memberi kesempatan orang lain bangkit kehidupannya.
Dan bertempat pada tiang timur utara pendapa.
Saat itu kepada para simpatisan setelah pulang lelayu dianjurkan sesaji :
1. apem tangkeban dengan jumlah sesuai dengan jumlah keluarga.
2. Krikil kali yang diambil dari krikil kali winongo sejumlah 30 (tiga puluh) butir
3. Uang benggol dikapur separo.
Sesaji selama tiga hari tiga malam dan selesai itu dilarung.
Awal mula sesaji sendiri dilakukan sebagai upaya pengorbanan yang diiringi dengan doa, dan diharapkan doa tersebut diterima oleh Tuhan YME. Praktek sesaji pada jaman dahulu mengandung banyak arti, salah satu maksud dari sesaji yang saya ketahui adalah “Apem” sesaji apem berasal dari kata afuwun..berarti pemaaf, sehingga diharapkan sesaji tersebut perlambang permohonan agar yang didoakan dimaafkan segala dosanya. Ada juga sesaji yang menggunakan daun Kluwih disini mengandung arti Luwih atau lebih..jadi diharapkan agar yang berdoa diberi kelebihan atau keluwihan. Berdasar ilustrasi tersebut mohon agar praktek sesaji tersebut disikapi dengan kedewasaan secara spiritual.
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 18
Tahun 1933 saat mendekati ajal
Hari itu merupakan hari rebo legi yaitu hari kelahiran Ki Ageng Prawira Purba, setelah semalam suntuk tidak tidur berpuasa neton, Ki Ageng menikmati nasi sayur bobor bayam dengan lauk tempe goreng bawang dengan sambal gosrek. Masakan tersebut merupakan kegemaran Ki Ageng dalam berbukapuasa neton. Memang sudah menjadi adat beliau untuk tidak tidur semalam suntuk setiap hari neton atau hari kelahiran beliau. Beliau biasa duduk dihalaman rumah atau kebun sambil membaca kitab kidungan. Setelah selesai makan beliau terlihat sangat puas,kemudian beliau memanggil Surip “Rip, kae ana andong liwat, coba deleng nomor pira”Rip, itu ada andong lewat, coba liat nomor berapa. Surip pun segera lari untuk melihat andong lewat tersebut dan melihat nomornya, kata Surip “sewidak kalih rama” enam puluh dua ayah.
Kata Ki Ageng “Bu Nyai Kasihan, nomor ingkang kula padosi pinten pinten tahun sakpunika sampun pinanggih, andum slamet nggih bu Nyai donga dinonga; Rip, kowe wis gedhe sing ngati ati romo tansah ndongakne kadi kadohan.” Bu Nyai Kasihan nomor yang saya cari bertahuntahun sekarang sudah ketemu, saling mendoakan selamat ya bu; Rip kamu sudah besar berhati hati ayah selalu mendoakan dari jauh.
Kemudian kata bu Nyai Kasihan “Rip kowe kudu cedhak ramamu” Rip kamu harus dekat dengan ayahmu. Rupanya Bu Nyai Kasihan mulai menangkap maksud nomer andong yang dimaksud tersebut,dan menyadari apa yang akan terjadi.
Siang harinya tanpa pamit Ndara Purba pergi meninggalkan rumah walaupun badannya terlihat lemah mungkin menderita sakit. Dalam perjalanannya beliau singgah di rumah Pak Karto di Ngadisuryan. Dan beliau jatuh sakit, selama empat hari tinggal di rumah Pak Karto. Sebenarnya pada saat mendengar kabar Ndara Purba sakit Bu Nyai Kasihan langsung mendatangi untuk merawat, akan tetapi beliau menolak. Bahkan ketika hendak didatangkan dokterpun beliau juga menolak, bahkan ketika Nyai Kasihan akan membawa pulang beliau ke rumah di Jalan Tukangan pun juga ditolak. Permintaan Ndara Purba justru minta didatangkan Mbah Beruk dari Sorosutan. Sabtu sore Mbok Beruk datang diikuti mbok Sowi atau Mangun Prawiro datang menunggui Ndara Purba yang tengah sakit selama sehari semalam. Pada hari minggu Kliwon saat matahari condong ke barat mBah Beruk masih menunggui Ndara Purba sedang mbok Sowi memijit mijit badan Ndara Purba. Saat itu Ndara Purba berpesan agar Mbah Beruk hati hati menjaga putra wayah.
Ki Ageng Prawira Purba saat itu terlihat lebih dekat dengan orang lain dibanding dengan keluarga sendiri/ibu Nyai Kasihan. Sekali lagi Ndara Purba berkata kepada Mbah Beruk bahwa saat akhir telah tiba mendapat panggilan Tuhannya.
Bu Nyai Kasihan kelihatan panik, usahanya sekali lagi untuk merawat suaminya agar kembali sehat, tetapi sekali lagi Ndara Purba tetap menolak segala tawarannya (dikalangan masyarakat Jawa fenomena tersebut sering disebut dengan fenomena “medot katresnan” atau upaya memutus cinta kasih,hal tersebut lazim dilakukan oleh orang yang hendak meninggal. Entah hal tersebut dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar tetapi upaya tersebut dilakukan agar orang tersebut dapat khusyu’ kembali kepada Tuhan dan dalam perjalanannya kealam kelanggengan tidak diperberat oleh rasa cintanya kepada keluarga).
Menghadapi penolakan yang berulang ulang tersebut emosi kewanitaan Nyai Kasihan timbul pula, dengan rasa jengkel maka keluarlah kata kata Nyai Kasihan kepada Ndara Purba “Jeneng bojo mestine uga kepengin suwita sing satemene, ning sing disuwitani kebangetan. Diboyong kundur ora kersa, didokterke ora kersa. Wong kok angel, yen angel kaya ngono ora kena disuwitani ya matia wae” Namanya istri pasti juga ingin berbakti kepada suami dengan sepenuh hati, tapi suami yang dibakti justru kebangetan. Diboyong pulang tidak mau, diperiksakan dokter juga tidak mau. Orang kok susah,kalau susah seperti itu tidak bisa dibakti ya mati saja.
Demi mendengar emosi Nyai Kasihan tersebut maka menjawablah Ndara Purba “o inggih, inggih, inggih ibu Nyai Kasihan menawi mekaten kersanipun kula badhe wangsul, kula pejah”. O ya, ya, ya Ibu Nyai Kasihan bila begitu keinginannya saya akan pulang, saya mati. Maka wafatlah Ndara Purba, Innalilahi wa ina ilaihi rajiun. Hingga hari terakhirnya pun Ndara Purba masih member kejutan, betapa terkejutnya Nyai Kasihan menyaksikan hal tersebut. Kata kata yang diungkapkan karena luapan kejengkelan, tapi rupanya kata kata tersebut menjadi kata penghabisan kepergian Ki Ageng Prawira Purba menghadap Tuhan. Suatu penyesalan yang sangat mendalam bagi Nyai Kasihan, tetapi semua itu tidak ada gunanya dan memang sebenarnya semua tersebut sudah menjadi garis dan takdir Tuhan.
Seorang anak manusia yang diwaktu mudanya telah digembleng seribu kehancuran, diceraiberaikan dari cinta kasih orangtua maupun saudara sehingga kematianlah yang diharapkan. Tetapi Tuhan menghendaki lain, Tuhan justru member kesempatan panjang berkembang, dan walau sebenarnya hidup ini sunyi.
Telah terbukti hidup yang sebelumnya terasa sendiri tetapi pada akhir perjalanan telah berkembang meluas. Telah banjir cinta meluap sanak saudara.
Tepat nama yang dipilih jauh sebelum tiba saat akhir perjalanan. Sepuluh tahun sebelum saatnya tiba telah dipilhnya pesanggrahan “Karang Kebolotan Sekar Megar Sore”
Beliau meninggal pada hari Minggu Kliwon, 4 Maret 1933 atau 15 Dulkaidah 1863 jam 16.35 di Ngadisuryan.
Jubah jembel Ki Ageng Prawira Purba yang terkenal tersebut waktu dilepas, kantong yang bergelantungan pada jubah tersebut dibuka satu persatu seluruh isinya dikumpulkan dan dengan disaksikan bersama dikumpulkan terdapat total uang senilai 60 ringgit.
repost kaskus TS "mdiwse"
Hari itu merupakan hari rebo legi yaitu hari kelahiran Ki Ageng Prawira Purba, setelah semalam suntuk tidak tidur berpuasa neton, Ki Ageng menikmati nasi sayur bobor bayam dengan lauk tempe goreng bawang dengan sambal gosrek. Masakan tersebut merupakan kegemaran Ki Ageng dalam berbukapuasa neton. Memang sudah menjadi adat beliau untuk tidak tidur semalam suntuk setiap hari neton atau hari kelahiran beliau. Beliau biasa duduk dihalaman rumah atau kebun sambil membaca kitab kidungan. Setelah selesai makan beliau terlihat sangat puas,kemudian beliau memanggil Surip “Rip, kae ana andong liwat, coba deleng nomor pira”Rip, itu ada andong lewat, coba liat nomor berapa. Surip pun segera lari untuk melihat andong lewat tersebut dan melihat nomornya, kata Surip “sewidak kalih rama” enam puluh dua ayah.
Kata Ki Ageng “Bu Nyai Kasihan, nomor ingkang kula padosi pinten pinten tahun sakpunika sampun pinanggih, andum slamet nggih bu Nyai donga dinonga; Rip, kowe wis gedhe sing ngati ati romo tansah ndongakne kadi kadohan.” Bu Nyai Kasihan nomor yang saya cari bertahuntahun sekarang sudah ketemu, saling mendoakan selamat ya bu; Rip kamu sudah besar berhati hati ayah selalu mendoakan dari jauh.
Kemudian kata bu Nyai Kasihan “Rip kowe kudu cedhak ramamu” Rip kamu harus dekat dengan ayahmu. Rupanya Bu Nyai Kasihan mulai menangkap maksud nomer andong yang dimaksud tersebut,dan menyadari apa yang akan terjadi.
Siang harinya tanpa pamit Ndara Purba pergi meninggalkan rumah walaupun badannya terlihat lemah mungkin menderita sakit. Dalam perjalanannya beliau singgah di rumah Pak Karto di Ngadisuryan. Dan beliau jatuh sakit, selama empat hari tinggal di rumah Pak Karto. Sebenarnya pada saat mendengar kabar Ndara Purba sakit Bu Nyai Kasihan langsung mendatangi untuk merawat, akan tetapi beliau menolak. Bahkan ketika hendak didatangkan dokterpun beliau juga menolak, bahkan ketika Nyai Kasihan akan membawa pulang beliau ke rumah di Jalan Tukangan pun juga ditolak. Permintaan Ndara Purba justru minta didatangkan Mbah Beruk dari Sorosutan. Sabtu sore Mbok Beruk datang diikuti mbok Sowi atau Mangun Prawiro datang menunggui Ndara Purba yang tengah sakit selama sehari semalam. Pada hari minggu Kliwon saat matahari condong ke barat mBah Beruk masih menunggui Ndara Purba sedang mbok Sowi memijit mijit badan Ndara Purba. Saat itu Ndara Purba berpesan agar Mbah Beruk hati hati menjaga putra wayah.
Ki Ageng Prawira Purba saat itu terlihat lebih dekat dengan orang lain dibanding dengan keluarga sendiri/ibu Nyai Kasihan. Sekali lagi Ndara Purba berkata kepada Mbah Beruk bahwa saat akhir telah tiba mendapat panggilan Tuhannya.
Bu Nyai Kasihan kelihatan panik, usahanya sekali lagi untuk merawat suaminya agar kembali sehat, tetapi sekali lagi Ndara Purba tetap menolak segala tawarannya (dikalangan masyarakat Jawa fenomena tersebut sering disebut dengan fenomena “medot katresnan” atau upaya memutus cinta kasih,hal tersebut lazim dilakukan oleh orang yang hendak meninggal. Entah hal tersebut dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar tetapi upaya tersebut dilakukan agar orang tersebut dapat khusyu’ kembali kepada Tuhan dan dalam perjalanannya kealam kelanggengan tidak diperberat oleh rasa cintanya kepada keluarga).
Menghadapi penolakan yang berulang ulang tersebut emosi kewanitaan Nyai Kasihan timbul pula, dengan rasa jengkel maka keluarlah kata kata Nyai Kasihan kepada Ndara Purba “Jeneng bojo mestine uga kepengin suwita sing satemene, ning sing disuwitani kebangetan. Diboyong kundur ora kersa, didokterke ora kersa. Wong kok angel, yen angel kaya ngono ora kena disuwitani ya matia wae” Namanya istri pasti juga ingin berbakti kepada suami dengan sepenuh hati, tapi suami yang dibakti justru kebangetan. Diboyong pulang tidak mau, diperiksakan dokter juga tidak mau. Orang kok susah,kalau susah seperti itu tidak bisa dibakti ya mati saja.
Demi mendengar emosi Nyai Kasihan tersebut maka menjawablah Ndara Purba “o inggih, inggih, inggih ibu Nyai Kasihan menawi mekaten kersanipun kula badhe wangsul, kula pejah”. O ya, ya, ya Ibu Nyai Kasihan bila begitu keinginannya saya akan pulang, saya mati. Maka wafatlah Ndara Purba, Innalilahi wa ina ilaihi rajiun. Hingga hari terakhirnya pun Ndara Purba masih member kejutan, betapa terkejutnya Nyai Kasihan menyaksikan hal tersebut. Kata kata yang diungkapkan karena luapan kejengkelan, tapi rupanya kata kata tersebut menjadi kata penghabisan kepergian Ki Ageng Prawira Purba menghadap Tuhan. Suatu penyesalan yang sangat mendalam bagi Nyai Kasihan, tetapi semua itu tidak ada gunanya dan memang sebenarnya semua tersebut sudah menjadi garis dan takdir Tuhan.
Seorang anak manusia yang diwaktu mudanya telah digembleng seribu kehancuran, diceraiberaikan dari cinta kasih orangtua maupun saudara sehingga kematianlah yang diharapkan. Tetapi Tuhan menghendaki lain, Tuhan justru member kesempatan panjang berkembang, dan walau sebenarnya hidup ini sunyi.
Telah terbukti hidup yang sebelumnya terasa sendiri tetapi pada akhir perjalanan telah berkembang meluas. Telah banjir cinta meluap sanak saudara.
Tepat nama yang dipilih jauh sebelum tiba saat akhir perjalanan. Sepuluh tahun sebelum saatnya tiba telah dipilhnya pesanggrahan “Karang Kebolotan Sekar Megar Sore”
Beliau meninggal pada hari Minggu Kliwon, 4 Maret 1933 atau 15 Dulkaidah 1863 jam 16.35 di Ngadisuryan.
Jubah jembel Ki Ageng Prawira Purba yang terkenal tersebut waktu dilepas, kantong yang bergelantungan pada jubah tersebut dibuka satu persatu seluruh isinya dikumpulkan dan dengan disaksikan bersama dikumpulkan terdapat total uang senilai 60 ringgit.
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 17
Perjalanan Akhir Tahun 1923
[Madik Calon Makam]
Sukaryo adalah Lurah desa Tegal Tahunan Semaki dengan dibantu anaknya Jayus sebagai Carik (Sekdes) mereka berdua adalah pengagum Ki Ageng Prawira Purba.
Suatu saat Sukaryo dipanggil ke rumah Ndara Purba,dirumah Ndara Purba Sukaryo mendapat permintaan dari beliau “Kula mang yasakaken calon dalem kagem benjang nggih” mohon saya dibuatkan rumah untuk nanti ya..
Begitu mendapat amanat untuk membuat rumah, maka Sukaryo yang sangat menghormati Ndara Purba merasa mendapat kehormatan. Maka segera dibuatlah rumah menurut pemahamannya. Di Tegal Tahunan tepatnya dipinggir jalan Semaki tersebut segera dibangun rumah mungil lengkap dan diisi perabotan rumah tangga. Rumah tersebut menghadap selatan. Setelah semua selesai, maka Sukaryo segera melaporkan kepada Ndara Purba.
Beberapa waktu kemudian sekeluarga Ndara Purba beserta Nyi Kasihan dan Surip naik andong ke Tahunan untuk melihat hasil karya Sukaryo tersebut. Kedatangan mereka disambut Lurah Sukaryo beserta Carik Jayus. Sebuah rumah mungil beserta perabot, disebelah barat juga terdapat pohon adem adem ati besar dan rindang, Ki Ageng Prawira Purba pun memeriksa rumah tersebut.
Mula mula Ndara Purba berdiri disebelah timur menghadap ke barat, kemudian merenung terdiam sebentar, kemudian menoleh kekanan kekiri. Beberapa saat kemudian Ndara Purba berkata “dede niki mbah griya kulo” bukan ini mbah rumah saya. Setelah itu dilanjutkannya memeriksa bagian sebelah barat diikuti Lurah Sukaryo dan Carik Jayus. Setelah itu beliau bersandar pada pohon sambil menghadap ke timur sambil berkata “niki mbah griya kulo, dan oleh Carik Jayus petunjuk Ki Ageng Prawira Purba ini diberi tanda tiga buah patok sesuai dengan garis tiga deret yang telah ditetapkan Ndara Purba. Dari garis tersebut kemudian dibangun tiga garis calon makam dan rumah sebagai calon cungkup. Selesai penunjukan mendekati pohon adem adem ati dan pohon dikelilingi tiga kali putaran, maka rebahlah pohon kearah barat. Ini isyarat Ki Ageng Purba Prawira waktu madik calon makam tempat istirahat kelak. Dapat dilihat perbedaan maksud antara pemahaman Sukaryo dengan maksud Ndara Purba,dimana maksud Ndara Purba pesanggrahan adalah tempat peristirahatan terakhir atau makam, sedangkan pemahaman Sukaryo adalah tempat pesanggrahan atau tempat tinggal.
Kata Ndara Purba “Ibu Nyai Kasihan,papan punika kula paring tetenger Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, kula badhe mapan wonten ngriki” Ibu Nyai Kasihan, tempat ini saya kasih nama Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, saya akan dimakamkan disini. Kata Sukaryo “Dhawah kaleresan Ndara saged dados pepunden kagem putra wayah” Kebetulan Ndara bisa menjadi pepunden bagi anak cucu. Penunjukan makam tersebut atas keinginan pribadi Ndara Purba walaupun beliau dapat dimakamkan di Imogiri tempat yang lebih layak dan terhormat.
Pepunden dalam arti bahasa jawa merupakan tempat yang dihormati, hal ini wajar saja dalam pengertian agama Islam. Seperti dikisahkan di zaman Salafus shalih bahwa Aisyah RA mengunjungi makam Rasulullah maupun makam ayahnya Abu Bakar Ash Shidiq pada saat itu beliau bisa leluasa berkunjung. Akan tetapi setelah makam tersebut bertambah dengan makam Umar Bin Khattab maka Aisyah tidak leluasa lagi karena terdapat seseorang (makam) yang bukan muhrimnya. Begitu pula analogi dengan makam Ndara Purba, artinya dengan keyakinan bahwa orang yang meninggal itu bisa tahu siapa saja yang mengunjungi makamnya maka tidak salah bila anak cucu keturunan Ndara Purba memiliki makam beliau sebagai pepunden leluhur yang menjadi pelajaran dan inspirasi bagi anak keturunannya pada khususnya ataupun masyarakat pada umumnya.
Persiapan Pembangunan
Surip yang anak angkat Ndara Purba telah memasuki umur remaja bahkan sudah dapat membantu orangtuanya. Menjelang pelaksanaan pembangunan Surip mendapat tugas usaha pengadaan tenaga dan material.
Gamping :dibeli dari Demang desa Gamping.
Batu merah :diusahakan dari Setra Badut seorang pengikut Ki Ageng Prawira Purba dari desa
Kronggahan.
Batu Nisan : dipesan tiga buah dari wetan Beteng seharga f 125, (seratus dua puluh lima gulden).
Tukang Batu : Dikoordinir oleh Somocakra dari desa Patangpuluhan.
Tukang Kayu : Diserahkan kepada Somodani dari desa Dongkelan.
Plafon Kayu : dibuat dari kayu wungu sumbangan dari demang Sorosutan
Uang tunai : f 400 sumbangan Karsodimejo Lurah Tresan Ngluwar Magelang.
Pekerjaan pertama
Permukaan tanah sangat rendah sehingga dibutuhkan urugan, mbah Beruk beserta cucunya Mangun Prawira menyediakan dua cikar. Pekerjaan urugan diselesaikan dengan bolak balik mengambil tanah dari desa Muja Muju sebanyak 200 cikar tanah atau 100 kali angkutan 2 cikar pinjaman dari mbah Beruk tersebut.
Selesai urugan dilanjutkan dengan pembuatan gentan atau kulahan yang dibuat dari batu merah dan semen. Gentan dibuat tiga buah sesuai petunjuk Ndara Purba yang diberi tanda Pathok oleh Jayus. Setelah itu dimulai pekerjaan pembuatan rumah cungkup. Pekerjaan tersebut banyak menghabiskan waktu, tenaga kerja yang datang dari desa kebanyakan tidak mau diberi upah walaupun dipaksa sedemikian rupa. Hal tersebut mungkin dikarenakan mereka bekerja dengan gotongroyong dimana masyarakat jaman dahulu lebih ringan tangan dalam bergotong royong, selain itu mereka juga mengharap ngalap berkah dan doa restu Ndara Purba.
Setelah pembangunan selesai maka ditunjuk Mbok Marjadi sebagai petugas yang mengatur kebersihan dan Pak Mat Yahyo sebagai penjaga keamanan. Mereka masing masing mendapat uang belanja 2 f, dua gulen sebulan dari Nyi Kasihan. Maka selesai sudah pembangunan makam Karang Kebolotan Sekar Megar Sore. Ndara Purba pun kini punya kebiasaan baru, perhatiannya selalu tertarik pada nomor andong. Dimana saja, kapan saja bila ada andong lewat diperintahkannya Surip untuk mengejar dan membaca nomor andong tersebut. Demikian pula setiap hendak bepergian naik andong pun juga dilakukan usaha melihat nomor andong tersebut. Entah apa maksudnya dengan melihat nomer tersebut Nyai Kasihan maupun Surip tidak mengetahui. Sudah ratusan andong yang dilihat Surip tetapi tetap saja belum menemukan nomor andong yang cocok.
Atas sumbangan tanah dari Lurah Sukaryo maka makin akrab persaudaraan Ndara Purba dengan Sukaryo, hal tersebut dipererat dengan ungkapan Ndara Purba kepada Surip”Surip kowe saiki wis gedhe, ora bakal ndherek rama salawase,sing ngati ati wae romo mung mujekke kadi kadohan. Surip kamu sudah dewasa, dan tidak selamanya ikut dengan ayah, hati hati lah ayah cuma mendoakan dari jauh. Katakata ini selanjutnya berlanjut perjodohan antara Surip dengan Jayus.
repost kaskus TS "mdiwse"
[Madik Calon Makam]
Sukaryo adalah Lurah desa Tegal Tahunan Semaki dengan dibantu anaknya Jayus sebagai Carik (Sekdes) mereka berdua adalah pengagum Ki Ageng Prawira Purba.
Suatu saat Sukaryo dipanggil ke rumah Ndara Purba,dirumah Ndara Purba Sukaryo mendapat permintaan dari beliau “Kula mang yasakaken calon dalem kagem benjang nggih” mohon saya dibuatkan rumah untuk nanti ya..
Begitu mendapat amanat untuk membuat rumah, maka Sukaryo yang sangat menghormati Ndara Purba merasa mendapat kehormatan. Maka segera dibuatlah rumah menurut pemahamannya. Di Tegal Tahunan tepatnya dipinggir jalan Semaki tersebut segera dibangun rumah mungil lengkap dan diisi perabotan rumah tangga. Rumah tersebut menghadap selatan. Setelah semua selesai, maka Sukaryo segera melaporkan kepada Ndara Purba.
Beberapa waktu kemudian sekeluarga Ndara Purba beserta Nyi Kasihan dan Surip naik andong ke Tahunan untuk melihat hasil karya Sukaryo tersebut. Kedatangan mereka disambut Lurah Sukaryo beserta Carik Jayus. Sebuah rumah mungil beserta perabot, disebelah barat juga terdapat pohon adem adem ati besar dan rindang, Ki Ageng Prawira Purba pun memeriksa rumah tersebut.
Mula mula Ndara Purba berdiri disebelah timur menghadap ke barat, kemudian merenung terdiam sebentar, kemudian menoleh kekanan kekiri. Beberapa saat kemudian Ndara Purba berkata “dede niki mbah griya kulo” bukan ini mbah rumah saya. Setelah itu dilanjutkannya memeriksa bagian sebelah barat diikuti Lurah Sukaryo dan Carik Jayus. Setelah itu beliau bersandar pada pohon sambil menghadap ke timur sambil berkata “niki mbah griya kulo, dan oleh Carik Jayus petunjuk Ki Ageng Prawira Purba ini diberi tanda tiga buah patok sesuai dengan garis tiga deret yang telah ditetapkan Ndara Purba. Dari garis tersebut kemudian dibangun tiga garis calon makam dan rumah sebagai calon cungkup. Selesai penunjukan mendekati pohon adem adem ati dan pohon dikelilingi tiga kali putaran, maka rebahlah pohon kearah barat. Ini isyarat Ki Ageng Purba Prawira waktu madik calon makam tempat istirahat kelak. Dapat dilihat perbedaan maksud antara pemahaman Sukaryo dengan maksud Ndara Purba,dimana maksud Ndara Purba pesanggrahan adalah tempat peristirahatan terakhir atau makam, sedangkan pemahaman Sukaryo adalah tempat pesanggrahan atau tempat tinggal.
Kata Ndara Purba “Ibu Nyai Kasihan,papan punika kula paring tetenger Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, kula badhe mapan wonten ngriki” Ibu Nyai Kasihan, tempat ini saya kasih nama Karang Kebolotan Sekar Megar Sore, saya akan dimakamkan disini. Kata Sukaryo “Dhawah kaleresan Ndara saged dados pepunden kagem putra wayah” Kebetulan Ndara bisa menjadi pepunden bagi anak cucu. Penunjukan makam tersebut atas keinginan pribadi Ndara Purba walaupun beliau dapat dimakamkan di Imogiri tempat yang lebih layak dan terhormat.
Pepunden dalam arti bahasa jawa merupakan tempat yang dihormati, hal ini wajar saja dalam pengertian agama Islam. Seperti dikisahkan di zaman Salafus shalih bahwa Aisyah RA mengunjungi makam Rasulullah maupun makam ayahnya Abu Bakar Ash Shidiq pada saat itu beliau bisa leluasa berkunjung. Akan tetapi setelah makam tersebut bertambah dengan makam Umar Bin Khattab maka Aisyah tidak leluasa lagi karena terdapat seseorang (makam) yang bukan muhrimnya. Begitu pula analogi dengan makam Ndara Purba, artinya dengan keyakinan bahwa orang yang meninggal itu bisa tahu siapa saja yang mengunjungi makamnya maka tidak salah bila anak cucu keturunan Ndara Purba memiliki makam beliau sebagai pepunden leluhur yang menjadi pelajaran dan inspirasi bagi anak keturunannya pada khususnya ataupun masyarakat pada umumnya.
Persiapan Pembangunan
Surip yang anak angkat Ndara Purba telah memasuki umur remaja bahkan sudah dapat membantu orangtuanya. Menjelang pelaksanaan pembangunan Surip mendapat tugas usaha pengadaan tenaga dan material.
Gamping :dibeli dari Demang desa Gamping.
Batu merah :diusahakan dari Setra Badut seorang pengikut Ki Ageng Prawira Purba dari desa
Kronggahan.
Batu Nisan : dipesan tiga buah dari wetan Beteng seharga f 125, (seratus dua puluh lima gulden).
Tukang Batu : Dikoordinir oleh Somocakra dari desa Patangpuluhan.
Tukang Kayu : Diserahkan kepada Somodani dari desa Dongkelan.
Plafon Kayu : dibuat dari kayu wungu sumbangan dari demang Sorosutan
Uang tunai : f 400 sumbangan Karsodimejo Lurah Tresan Ngluwar Magelang.
Pekerjaan pertama
Permukaan tanah sangat rendah sehingga dibutuhkan urugan, mbah Beruk beserta cucunya Mangun Prawira menyediakan dua cikar. Pekerjaan urugan diselesaikan dengan bolak balik mengambil tanah dari desa Muja Muju sebanyak 200 cikar tanah atau 100 kali angkutan 2 cikar pinjaman dari mbah Beruk tersebut.
Selesai urugan dilanjutkan dengan pembuatan gentan atau kulahan yang dibuat dari batu merah dan semen. Gentan dibuat tiga buah sesuai petunjuk Ndara Purba yang diberi tanda Pathok oleh Jayus. Setelah itu dimulai pekerjaan pembuatan rumah cungkup. Pekerjaan tersebut banyak menghabiskan waktu, tenaga kerja yang datang dari desa kebanyakan tidak mau diberi upah walaupun dipaksa sedemikian rupa. Hal tersebut mungkin dikarenakan mereka bekerja dengan gotongroyong dimana masyarakat jaman dahulu lebih ringan tangan dalam bergotong royong, selain itu mereka juga mengharap ngalap berkah dan doa restu Ndara Purba.
Setelah pembangunan selesai maka ditunjuk Mbok Marjadi sebagai petugas yang mengatur kebersihan dan Pak Mat Yahyo sebagai penjaga keamanan. Mereka masing masing mendapat uang belanja 2 f, dua gulen sebulan dari Nyi Kasihan. Maka selesai sudah pembangunan makam Karang Kebolotan Sekar Megar Sore. Ndara Purba pun kini punya kebiasaan baru, perhatiannya selalu tertarik pada nomor andong. Dimana saja, kapan saja bila ada andong lewat diperintahkannya Surip untuk mengejar dan membaca nomor andong tersebut. Demikian pula setiap hendak bepergian naik andong pun juga dilakukan usaha melihat nomor andong tersebut. Entah apa maksudnya dengan melihat nomer tersebut Nyai Kasihan maupun Surip tidak mengetahui. Sudah ratusan andong yang dilihat Surip tetapi tetap saja belum menemukan nomor andong yang cocok.
Atas sumbangan tanah dari Lurah Sukaryo maka makin akrab persaudaraan Ndara Purba dengan Sukaryo, hal tersebut dipererat dengan ungkapan Ndara Purba kepada Surip”Surip kowe saiki wis gedhe, ora bakal ndherek rama salawase,sing ngati ati wae romo mung mujekke kadi kadohan. Surip kamu sudah dewasa, dan tidak selamanya ikut dengan ayah, hati hati lah ayah cuma mendoakan dari jauh. Katakata ini selanjutnya berlanjut perjodohan antara Surip dengan Jayus.
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 16
Kisah dari Sorosutan
Diantara sekian banyak desa yang sering dikunjungi Ki Ageng adalah Sorosutan. Di Sorosutan tinggal seorang pemuda bernama Surono putera dari Harjawigeno. Pak Harjawigeno maupun paman Surono mengidap sakit ingatan, sehingga Surono lah yang menanggung beban hidup keluarganya. Surono juga harus menanggung mbok Beruk neneknya. Amarhum suami mbok Beruk adalah seorang Bekel, selain itgeng u mbok Beruk juga berdagang ternak dan hasil bumi sehingga mbok Beruk termasuk orang yang paling berkecukupan di desa nya.
Dari kampung berangkat membawa ternak dan hasil bumi menggunakan Cikar menuju pasar Muntilan, pasar Mertoyudan maupun pasar lain, kemudian pulangnya membeli belanjaan untuk di jual di Desa Sorosutan. Surono membantu sebagai kusir Cikar membantu neneknya. Kekayaan yang diperoleh dari hasil berdagang tersebut ditafsirkan lain oleh masyarakat di sekitar mereka, ditambah keadaan pak Harjawigeno dan adiknya yang kurang waras. Masyarakat beranggaapan bahwa mbah Beruk memelihara tuyul atau pesugihan, dimana kedua anaknya menjadi tumbal atas pesugihan tersebut.
Selain membantu neneknya Surono masih menyempatkan untuk mengaji di sore harinya, adapun jaman itu tidak banyak anak yang bersekolah. Pada suatu hari saat Surono berjalan menuju tempat guru mengajinya ditengah jalan dicegat oleh Ki Ageng Prawira Purbo. Surono dihajar dan dipukuli sampai menangis, sehingga akhirnya bocah itu pulang dan mengadukan pada neneknya. Maka hebohlah penduduk Sorosutan ada yang beranggapan bahwa hajaran tersebut merupakan firasat bahwa keluarga mbok Beruk akan sukses, tetapi ada juga yang menafsirkan hal tersebut sebagai pelajaran karena menjalani pesugihan.
Pada suatu hari pergilah Mbok Beruk ke Yogyakarta guna mencari Ki Ageng untuk memohon petunjuk. Di alun alun mbok Beruk berhasil menjumpai Ki Ageng, dan mencurahkan apa yang menjadi keingintahuannya tersebut. Akan tetapi jawaban Ki Ageng singkat saja, "hes,kono lekas golekana" (hes..sudah..segera kamu cari). Karena bingung dan tidak memahami makna nasehat Ki Ageng, maka mbok Beruk kebingungan dan mencari tahu siapa yang kira kira bisa menafsirkan nasehat tersebut. Di daerah Juminahan ada seseorang yang sering bisa menafsirkan nasehat nasehat Ki Ageng,namanya Raden Mas Sahid. RM Sahid menyarankan agar mbok Beruk sekali lagi mendatangi Ki Ageng untuk memohon petunjuk dan kejelasan. Maka dijumpainya lagi Ki Ageng, akan tetapi sekian lama mengungkapkan isi hatinya Ki Ageng tetap terdiam. Akhirnya setelah sekian lama mbok Beruk terus mengulangi maksud hatinya ditambah dengan menelungkupkan badannya di tanah berulang ulang dan bertekad tidak akan berhenti sebelum
Ki Ageng menjawab.
Akhirnya Ki Ageng menyerah juga ungkap beliau " wong kok do ting blasur ki golek apa?" (orang kok pada tidak jelas seperti ini yang dicari apa?). Ki Ageng berdiri dan langsung menarik mbok Beruk menuju Sorosutan, dalam perasaannya mbok Beruk merasa Ki Ageng berjalan cepat sekali seolah olah terbang.
Meskipun dengan susah payah Mbok Beruk berhasil mengundang Ndara Purba datang ke Sorosutan. Paling tidak dengan kehadiran Ndara Purba, kesulitannya mengenai anaknya yang sakit ingatan, serta anggapan penduduk sekitar bahwa Mbok Beruk memelihara pesugihan dan kedua anaknya menjadi “lebon” (tumbal) bisa diklarifikasi. Setelah berada di Sorosutan Ki Ageng ternyata cukup betah tinggal di rumah Mbok Beruk dan lambat laun setelah mendapat usada dari Ndara Purba maka Harjowigena sembuh, walaupun setelah sembuh Harjawigena meninggal dunia.
Kehadiran Ndara Purba mulai membuat terang permasalahan, Somopawiro (paman Surono) telah sembuh pula dari sakitnya. Atas kesembuhan Somopawiro tersebut Ndara Purba sangat gembira bahkan sampai menari-nari. Tarian tersebut bahkan memuncak sampai beliau ngibing mengelilingi Somopawiro, rupanya perasaan gembira juga sedang dirasakan Somapawiro sehingga sebenarnya Ndara Purba sedang mengungkapkan perasaan Somopawiro tersebut.
Ternyata Ngibing tersebut juga merupakan firasat, setelah beberapa hari kemudian Somopawiro telah pergi tanpa pamit dengan membawa sejumlah uang. Kepergian ini menurut istilah Surono pergi menuruti perasaan gembira. Adapun menurut istilah mbah Beruk kepergian Somopawiro ibarat ayam lari kehutan, orang umum mengatakan minggat. Setelah sekian lama pergi dan akhirnya kembali, maka oleh Ndara Purba nama Somapawiro diganti menjadi Jayapawiro.
Adapun Mbok Hardjowiyono ibu Surono berdagang kain lurik. Seorang yang pendiam dan tidak terlalu perduli dengan keadaan sekitarnya, bahkan saat Ndara Purba datang pun tidak pernah dia menjumpai beliau. Mbok Hardjawiyono agak kurang percaya terhadap Ndara Purba Usaha. Seiring dengan naik turunnya kehidupan, begitu pula usaha dagang yang dijalankan mbok Hardjowiyono. Beberapa kali merugi menyebabkan usahanya semakin susut. Walaupun dilakukan penambahan modal, pada akhirnya akan susut lagi. Kesulitan inipun diceritakan kepada Mbok Beruk, oleh mbok Beruk disarankan agar meminta doa restu kepada Ndara Purba. Tetapi Mbok Hardjowigeno merasa kurang yakin bahwa kesulitan dagang apakah bisa diperbaiki dengan upaya doa (upaya bathin). Karena tak kunjung menghadap Ndara Purba, maka Mbok Beruk lah yang mengambil inisiatif menemui Ndara Purba. Ungkap beliau “Ndara kadospundi mantu kula kok ndeprok kemawon?” (Tuan bagaimana ini menantu saya kok keadaannya terduduk seperti ini terus?ungkapan bahwa usahanya tidak berkembang). Maka kata Ndara Purba “kon njenggelek ora turu bae, ayo njenggelek” (suruh bangun, jangan tidur melulu, ayo bangun).
Kata-kata tersebut mengandung sugesti bagi Mbok Hardjowigeno, sehingga dia bersemangat lagi, tekun dan menghayati usahanya. Akhirnya usaha Mbok Hardjowigeno dapat kembali lancer usahanya. Mbok Hardjowigeno yang tadinya tidak percaya kepada Ndara Purba, akhirnya menjadi pengikutnya juga.
Di Sorosutan, satu-satunya yang memiliki gamelan adalah Mbok Beruk (Gamelan saat itu juga sekaligus menunjukkan status kekayaan atau kesejahteraan seseorang). Ki Ageng Prawira Purba sangat menyukai seni gamelan, bila beliau datang berkunjung maka gamelan pun sering dimainkan.
Suatu ketika karena kebutuhan uang yang mendesak maka gamelan terpaksa dijual ke orang lain. Beberapa saat kemudian datanglah Ndara Purba ke rumah mbok Beruk, demi mengetahui bahwa gamelan sudah dijual maka beliau merasa sedih. Saking sedihnya timbul perilaku kekanak-kanakan Ndara Purba, beliau menangis meraung-raung sambil berguling-guling di atas amben (ranjang).
Selang beberapa hari kemudian pembeli gamelan datang ke rumah mbok Beruk untuk menyerahkan kembali gamelan yang dibelinya. Adapun soal kembalinya uang terserah Mbah Beruk kapan saja apabila Mbah beruk sudah dapat uang. Menurut keterangan pembeli gamelan, hal tersebut dilakukan karena gamelan tersebut banyak yang tidak bunyi (bungkem) dan kalaupun berbunyi larasnya tidak cocok. Rupanya terdapat kontak antara Ndara Purba dengan gamelan tersebut. Setelah gamelan dikembalikan, maka Ndara Purba pun gembira kembali dan gamelan pun dapat dimainkan kembali.
Setelah menikah Surono suami isteri mendapat nama dewasa yaitu Mangun Pawiro suami isteri. Setelah menikah keduanyapun ingin tinggal terpisah dan berharap dapat membeli tanah dan membangun tempat tinggal. Untuk keinginan inipun Mbah Beruk menganjurkan cucunya agar memohon doa restu Ndara Purba. Sayangnya Mbok Mangun Pawiro (isteri Surono) ini seorang yang sangat pemalu, apalagi dihadapkan dengan Ndara Purba yang angker berwibawa dan susah ditebak perilakunya.
Untuk melatih menghilangkan malu tersebut, maka diperintahkan oleh Mbah Beruk agar cucu menantunya ini mulai belajar menghidangkan makanan dan minuman ke ruang Ndara Purba. Maka dengan langkah perlahan dan gemetar Mbok Mangun Prawira ini mengantarkan talam dengan suguhan diatasnya. Sebenarnya hal tersebut juga tidak luput dari perhatian Ndara Purba, maka timbullah rasa usilnya Ndara Purba. Pada saat akan memasuki kamar, maka Mbok Mangun Prawira mengucapkan salam “kula nuwun” (permisi) setelah mendapat perkenan dari yang di dalam kamar maka mbok Mangun Prawiro masuk sambil membawa talam sajian tersebut. Setelah hidangan diletakkan maka Ki Ageng langsung berteriak “ Mbah, Mbah Beruk, mbah…putu sampeyan Mangun Prentil mbeto ageman kula, gondel, gondel, gondel…”. Begitu terkejutnya mbok Mangun Prawira maka sambil berlari keluar membawa nampan mendatangi mbah Beruk menubruknya dan menangis sejadi-jadinya. Setelah ditanya Mbah Beruk, apa yang diambil oleh cucu menantunya tersebut? Jawab Mbok Mangun Prawira “Bagaimana saya berani mengambil barang milik Ki Ageng Prawira Purba, ketemu orangnya saja saya sudah sedemikian takut, disumpahpun saya tidak mengambil barang apa-apa dari dia”. Mbah Beruk pun memahami bahwa sebenarnya hal tersebut merupakan lelucon Ki Ageng terhadap Mbok Mangun Prawira yang penakut.
Kiranya isyarat Ki Ageng Prawira Puba dimana perujudan rasa takut yang memuncak yang disebabkan oleh perlakuan Ki Ageng baik berupa hajaran, naupun gertakan dari Ki Ageng memiliki makna yang sama. Terbukti tidak lama dari peristiwa gertakan tersebut Mbah Pingi penduduk Sorosutan menawarkan sebidang tanah kepada Mbah Beruk. Letaknyapun tidak jauh dari rumah Mbah Beruk .
Jauh sebelum Ndara Purba meninggal dunia beliau telah mempersiapkan sebidang tanah untuk makamnya kelak. Sebidang tanah di Tegalan Tahunan cukup luas untuk membangun satu rumah komplit beserta serambi dan pelataran. Banyak kenalan yang diajak bermusyawarah mengenai rencana pembangunan calon makam tersebut. Mbah Beruk juga dimintain bantuannya, kata Ki Ageng “mBah kula sampun madik, kula mang gaweke omah nggih mbah” (mbah saya sudah dekat waktunya, minta tolong dibuatkan rumah ya mbah). Setelah Ndara Purba meninggal dunia, disusul pula mbah Beruk meninggal dunia. Sepeninggal mereka Mangun Prawira (Surono) melestarikan adat berbakti kepada Ki Ageng Purba Prawira dengan cara menghimpun para pengagum Raden Bekel Prawira Purba, mengadakan selamatan di Tegal Tahunan maupun di Sorosutan setiap hari wafatnya serta pada hari sadranan setiap tahun sejak meninggalnya Ndara Purba pada tahun 1933 tidak pernah absen sampai dengan saat tulisan ini dibuat (1992).
repost kaskus TS "mdiwse"
Diantara sekian banyak desa yang sering dikunjungi Ki Ageng adalah Sorosutan. Di Sorosutan tinggal seorang pemuda bernama Surono putera dari Harjawigeno. Pak Harjawigeno maupun paman Surono mengidap sakit ingatan, sehingga Surono lah yang menanggung beban hidup keluarganya. Surono juga harus menanggung mbok Beruk neneknya. Amarhum suami mbok Beruk adalah seorang Bekel, selain itgeng u mbok Beruk juga berdagang ternak dan hasil bumi sehingga mbok Beruk termasuk orang yang paling berkecukupan di desa nya.
Dari kampung berangkat membawa ternak dan hasil bumi menggunakan Cikar menuju pasar Muntilan, pasar Mertoyudan maupun pasar lain, kemudian pulangnya membeli belanjaan untuk di jual di Desa Sorosutan. Surono membantu sebagai kusir Cikar membantu neneknya. Kekayaan yang diperoleh dari hasil berdagang tersebut ditafsirkan lain oleh masyarakat di sekitar mereka, ditambah keadaan pak Harjawigeno dan adiknya yang kurang waras. Masyarakat beranggaapan bahwa mbah Beruk memelihara tuyul atau pesugihan, dimana kedua anaknya menjadi tumbal atas pesugihan tersebut.
Selain membantu neneknya Surono masih menyempatkan untuk mengaji di sore harinya, adapun jaman itu tidak banyak anak yang bersekolah. Pada suatu hari saat Surono berjalan menuju tempat guru mengajinya ditengah jalan dicegat oleh Ki Ageng Prawira Purbo. Surono dihajar dan dipukuli sampai menangis, sehingga akhirnya bocah itu pulang dan mengadukan pada neneknya. Maka hebohlah penduduk Sorosutan ada yang beranggapan bahwa hajaran tersebut merupakan firasat bahwa keluarga mbok Beruk akan sukses, tetapi ada juga yang menafsirkan hal tersebut sebagai pelajaran karena menjalani pesugihan.
Pada suatu hari pergilah Mbok Beruk ke Yogyakarta guna mencari Ki Ageng untuk memohon petunjuk. Di alun alun mbok Beruk berhasil menjumpai Ki Ageng, dan mencurahkan apa yang menjadi keingintahuannya tersebut. Akan tetapi jawaban Ki Ageng singkat saja, "hes,kono lekas golekana" (hes..sudah..segera kamu cari). Karena bingung dan tidak memahami makna nasehat Ki Ageng, maka mbok Beruk kebingungan dan mencari tahu siapa yang kira kira bisa menafsirkan nasehat tersebut. Di daerah Juminahan ada seseorang yang sering bisa menafsirkan nasehat nasehat Ki Ageng,namanya Raden Mas Sahid. RM Sahid menyarankan agar mbok Beruk sekali lagi mendatangi Ki Ageng untuk memohon petunjuk dan kejelasan. Maka dijumpainya lagi Ki Ageng, akan tetapi sekian lama mengungkapkan isi hatinya Ki Ageng tetap terdiam. Akhirnya setelah sekian lama mbok Beruk terus mengulangi maksud hatinya ditambah dengan menelungkupkan badannya di tanah berulang ulang dan bertekad tidak akan berhenti sebelum
Ki Ageng menjawab.
Akhirnya Ki Ageng menyerah juga ungkap beliau " wong kok do ting blasur ki golek apa?" (orang kok pada tidak jelas seperti ini yang dicari apa?). Ki Ageng berdiri dan langsung menarik mbok Beruk menuju Sorosutan, dalam perasaannya mbok Beruk merasa Ki Ageng berjalan cepat sekali seolah olah terbang.
Meskipun dengan susah payah Mbok Beruk berhasil mengundang Ndara Purba datang ke Sorosutan. Paling tidak dengan kehadiran Ndara Purba, kesulitannya mengenai anaknya yang sakit ingatan, serta anggapan penduduk sekitar bahwa Mbok Beruk memelihara pesugihan dan kedua anaknya menjadi “lebon” (tumbal) bisa diklarifikasi. Setelah berada di Sorosutan Ki Ageng ternyata cukup betah tinggal di rumah Mbok Beruk dan lambat laun setelah mendapat usada dari Ndara Purba maka Harjowigena sembuh, walaupun setelah sembuh Harjawigena meninggal dunia.
Kehadiran Ndara Purba mulai membuat terang permasalahan, Somopawiro (paman Surono) telah sembuh pula dari sakitnya. Atas kesembuhan Somopawiro tersebut Ndara Purba sangat gembira bahkan sampai menari-nari. Tarian tersebut bahkan memuncak sampai beliau ngibing mengelilingi Somopawiro, rupanya perasaan gembira juga sedang dirasakan Somapawiro sehingga sebenarnya Ndara Purba sedang mengungkapkan perasaan Somopawiro tersebut.
Ternyata Ngibing tersebut juga merupakan firasat, setelah beberapa hari kemudian Somopawiro telah pergi tanpa pamit dengan membawa sejumlah uang. Kepergian ini menurut istilah Surono pergi menuruti perasaan gembira. Adapun menurut istilah mbah Beruk kepergian Somopawiro ibarat ayam lari kehutan, orang umum mengatakan minggat. Setelah sekian lama pergi dan akhirnya kembali, maka oleh Ndara Purba nama Somapawiro diganti menjadi Jayapawiro.
Adapun Mbok Hardjowiyono ibu Surono berdagang kain lurik. Seorang yang pendiam dan tidak terlalu perduli dengan keadaan sekitarnya, bahkan saat Ndara Purba datang pun tidak pernah dia menjumpai beliau. Mbok Hardjawiyono agak kurang percaya terhadap Ndara Purba Usaha. Seiring dengan naik turunnya kehidupan, begitu pula usaha dagang yang dijalankan mbok Hardjowiyono. Beberapa kali merugi menyebabkan usahanya semakin susut. Walaupun dilakukan penambahan modal, pada akhirnya akan susut lagi. Kesulitan inipun diceritakan kepada Mbok Beruk, oleh mbok Beruk disarankan agar meminta doa restu kepada Ndara Purba. Tetapi Mbok Hardjowigeno merasa kurang yakin bahwa kesulitan dagang apakah bisa diperbaiki dengan upaya doa (upaya bathin). Karena tak kunjung menghadap Ndara Purba, maka Mbok Beruk lah yang mengambil inisiatif menemui Ndara Purba. Ungkap beliau “Ndara kadospundi mantu kula kok ndeprok kemawon?” (Tuan bagaimana ini menantu saya kok keadaannya terduduk seperti ini terus?ungkapan bahwa usahanya tidak berkembang). Maka kata Ndara Purba “kon njenggelek ora turu bae, ayo njenggelek” (suruh bangun, jangan tidur melulu, ayo bangun).
Kata-kata tersebut mengandung sugesti bagi Mbok Hardjowigeno, sehingga dia bersemangat lagi, tekun dan menghayati usahanya. Akhirnya usaha Mbok Hardjowigeno dapat kembali lancer usahanya. Mbok Hardjowigeno yang tadinya tidak percaya kepada Ndara Purba, akhirnya menjadi pengikutnya juga.
Di Sorosutan, satu-satunya yang memiliki gamelan adalah Mbok Beruk (Gamelan saat itu juga sekaligus menunjukkan status kekayaan atau kesejahteraan seseorang). Ki Ageng Prawira Purba sangat menyukai seni gamelan, bila beliau datang berkunjung maka gamelan pun sering dimainkan.
Suatu ketika karena kebutuhan uang yang mendesak maka gamelan terpaksa dijual ke orang lain. Beberapa saat kemudian datanglah Ndara Purba ke rumah mbok Beruk, demi mengetahui bahwa gamelan sudah dijual maka beliau merasa sedih. Saking sedihnya timbul perilaku kekanak-kanakan Ndara Purba, beliau menangis meraung-raung sambil berguling-guling di atas amben (ranjang).
Selang beberapa hari kemudian pembeli gamelan datang ke rumah mbok Beruk untuk menyerahkan kembali gamelan yang dibelinya. Adapun soal kembalinya uang terserah Mbah Beruk kapan saja apabila Mbah beruk sudah dapat uang. Menurut keterangan pembeli gamelan, hal tersebut dilakukan karena gamelan tersebut banyak yang tidak bunyi (bungkem) dan kalaupun berbunyi larasnya tidak cocok. Rupanya terdapat kontak antara Ndara Purba dengan gamelan tersebut. Setelah gamelan dikembalikan, maka Ndara Purba pun gembira kembali dan gamelan pun dapat dimainkan kembali.
Setelah menikah Surono suami isteri mendapat nama dewasa yaitu Mangun Pawiro suami isteri. Setelah menikah keduanyapun ingin tinggal terpisah dan berharap dapat membeli tanah dan membangun tempat tinggal. Untuk keinginan inipun Mbah Beruk menganjurkan cucunya agar memohon doa restu Ndara Purba. Sayangnya Mbok Mangun Pawiro (isteri Surono) ini seorang yang sangat pemalu, apalagi dihadapkan dengan Ndara Purba yang angker berwibawa dan susah ditebak perilakunya.
Untuk melatih menghilangkan malu tersebut, maka diperintahkan oleh Mbah Beruk agar cucu menantunya ini mulai belajar menghidangkan makanan dan minuman ke ruang Ndara Purba. Maka dengan langkah perlahan dan gemetar Mbok Mangun Prawira ini mengantarkan talam dengan suguhan diatasnya. Sebenarnya hal tersebut juga tidak luput dari perhatian Ndara Purba, maka timbullah rasa usilnya Ndara Purba. Pada saat akan memasuki kamar, maka Mbok Mangun Prawira mengucapkan salam “kula nuwun” (permisi) setelah mendapat perkenan dari yang di dalam kamar maka mbok Mangun Prawiro masuk sambil membawa talam sajian tersebut. Setelah hidangan diletakkan maka Ki Ageng langsung berteriak “ Mbah, Mbah Beruk, mbah…putu sampeyan Mangun Prentil mbeto ageman kula, gondel, gondel, gondel…”. Begitu terkejutnya mbok Mangun Prawira maka sambil berlari keluar membawa nampan mendatangi mbah Beruk menubruknya dan menangis sejadi-jadinya. Setelah ditanya Mbah Beruk, apa yang diambil oleh cucu menantunya tersebut? Jawab Mbok Mangun Prawira “Bagaimana saya berani mengambil barang milik Ki Ageng Prawira Purba, ketemu orangnya saja saya sudah sedemikian takut, disumpahpun saya tidak mengambil barang apa-apa dari dia”. Mbah Beruk pun memahami bahwa sebenarnya hal tersebut merupakan lelucon Ki Ageng terhadap Mbok Mangun Prawira yang penakut.
Kiranya isyarat Ki Ageng Prawira Puba dimana perujudan rasa takut yang memuncak yang disebabkan oleh perlakuan Ki Ageng baik berupa hajaran, naupun gertakan dari Ki Ageng memiliki makna yang sama. Terbukti tidak lama dari peristiwa gertakan tersebut Mbah Pingi penduduk Sorosutan menawarkan sebidang tanah kepada Mbah Beruk. Letaknyapun tidak jauh dari rumah Mbah Beruk .
Jauh sebelum Ndara Purba meninggal dunia beliau telah mempersiapkan sebidang tanah untuk makamnya kelak. Sebidang tanah di Tegalan Tahunan cukup luas untuk membangun satu rumah komplit beserta serambi dan pelataran. Banyak kenalan yang diajak bermusyawarah mengenai rencana pembangunan calon makam tersebut. Mbah Beruk juga dimintain bantuannya, kata Ki Ageng “mBah kula sampun madik, kula mang gaweke omah nggih mbah” (mbah saya sudah dekat waktunya, minta tolong dibuatkan rumah ya mbah). Setelah Ndara Purba meninggal dunia, disusul pula mbah Beruk meninggal dunia. Sepeninggal mereka Mangun Prawira (Surono) melestarikan adat berbakti kepada Ki Ageng Purba Prawira dengan cara menghimpun para pengagum Raden Bekel Prawira Purba, mengadakan selamatan di Tegal Tahunan maupun di Sorosutan setiap hari wafatnya serta pada hari sadranan setiap tahun sejak meninggalnya Ndara Purba pada tahun 1933 tidak pernah absen sampai dengan saat tulisan ini dibuat (1992).
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 15
Menemukan makam kuna
Alkisah ada seorang bernama Wanasemita yang tinggal di desa Polaman Sedayu yang setiap hari pergi ke Beringharjo untuk berjualan sayuran maupun hasil bumi lainnya. Pada hari itu dagangan Wanasemita sudah laris terjual dalam waktu yang cukup cepat, sehingga masih agak pagi sudah habis terjual semua dagangannya.
Sambil menunggu beberapa uang pembayaran yang belum dia terima Wanasemita membeli es campur di salah satu kios di Beringharjo. Disaat meminum es tersebut tiba tiba dirinya didorong orang, tentu saja es ditangannya tumpah. Masih belum menyadari apa yang terjadi lagi lagi dia kembali didorong orang bahkan lebih keras sehingga jatuh terguling ditanah. Tanpa ada kesempatan berdiri sudah disusul disiram air pencuci gelas seember penuh. Dengan keadaan terjengkang ditanah ditambah kondisi basah kuyup, spontan emosinya naik dan marah. Tapi demi melihat bahwa pendorongnya adalah Ki Ageng Prawira Purba maka sebisa mungkin ditahannya emosi tersebut.
Pada waktu itu banyak yang meyakini bahwa barangsiapa dipermalukan atau mendapat perlakuan yang kurang tepat dari Ki Ageng justru merupakan firasat bahwa dirinya nanti akan mendapat keberuntungan. Maka Wanasemita pun berdiam diri sambil menahan emosi serta berharap dia akan mendapat keberuntungan.
Kira kira sebulan kemudian Ki Ageng tiba tiba mendatangi tempat tinggal Wanasemita di atas gunung Polaman selatan Sedayu. Disaat tiba dirumah Wanasemita Ki Ageng langsung masuk rumah tanpa permisi atau mengucap apapun dan langsung duduk lesehan diruang depan karena tidak adaperaot rumah. Wanasemita yang mendengar suara orang batuk di kamar depan segera keluar kamar untuk melihat siapa yang batuk tersebut. Tiba tiba terkejutlah wanasemita demi melihat yang hadir adalah Ki Ageng dan sedang duduk di tanah beralaskan getepe. Teringatlah dia bahwa sebulan yang lalu dirinya dipermalukan di pasar Beringharjo, akan tetapi rasa hormat tetap ada didalam hatinya. Maka digelarlah tikar pandan sebagai upaya menghormati tamunya. Akan tetapi Ki Ageng tetap tidak mau dan memaksa duduk di getepe.
Segala hidangan yang disuguhkan juga ditolak, Ki Ageng hanya menerima suguhan minuman saja. Setelah beberapa saat Ki Ageng beranjak keluar rumah dan melihat lihat pekarangan. Wanasemita masih belum memahami kemauan tamunya tersebut, maka dia hanya mengikuti saja. Setelah sekian lama berjalan jalan jauh di sekitar kampung maka Ki Ageng berhenti di sebuah gua sebelah tenggara lereng bukit. Dengan berjalan dan termangu mangu ki Ageng berkata "menika satunggaling makam kina, makam naratapa majapahit" (ini makam kuna, salah satu pertapa majapahit). Gua menika pertapanipun, lan mestinipun mboten namung setunggal makam punika aslinipun gangsal sedayanipun (gua ini adalah tempat pertapaannya dan mestinya bukan cuma satu makam saja akan tetapi ada 5).
Ki Ageng menuruni lereng arah utara dan tidak jauh dari lokasi itu ditunjuk agar wanasemita menggali, Ki Ageng meninggalkan tempat itu dengan pesan suatu saat akan datang lagi membangun makam tersebut. Penggalian pertama oleh wanasemita ditemukan mata air, dari bentuk tepiannya diduga mata air tersebut bikinan manusia. Penggalian demi penggalian dilakukan dan ditemukan tiga mata air. Diperlukan waktu dua minggu untuk menggali, dan setelah selesai maka wanasemita melapor kepada Ki Ageng.
Pada akhir pemugaran maka dilakukan selamatan, pengunjung banyak yang datang bergotongroyong. Banyak pula yang sibuk menyiapkan makanan dan merebus minuman. Tetapi telah berjamjam direbus minuman tetap saja air tidak bisa mendidih, peristiwa tersebut akhirnya mengundang banyak orang yangmelihat dan akhirnya tersiar kabar bahwa air di mata air tersebut adalah air ajaib. Dan Polaman kedatangan banyak tamu untuk melihat mata air tersebut (sendang).
Pada peristiwa pemugaran tersebut terungkaplah bahwa setelah keruntuhan Majapahit, seluruh putera Brawijaya menyebar keseluruh nusantara. Putera yang ke 91 bernama raden Paneti (putera Prembi) menghabiskan sisa hidupnya menetap di Polaman, dan sampai akhir hayatnya dimakamkan di Polaman.
repost kaskus TS "mdiwse"
Alkisah ada seorang bernama Wanasemita yang tinggal di desa Polaman Sedayu yang setiap hari pergi ke Beringharjo untuk berjualan sayuran maupun hasil bumi lainnya. Pada hari itu dagangan Wanasemita sudah laris terjual dalam waktu yang cukup cepat, sehingga masih agak pagi sudah habis terjual semua dagangannya.
Sambil menunggu beberapa uang pembayaran yang belum dia terima Wanasemita membeli es campur di salah satu kios di Beringharjo. Disaat meminum es tersebut tiba tiba dirinya didorong orang, tentu saja es ditangannya tumpah. Masih belum menyadari apa yang terjadi lagi lagi dia kembali didorong orang bahkan lebih keras sehingga jatuh terguling ditanah. Tanpa ada kesempatan berdiri sudah disusul disiram air pencuci gelas seember penuh. Dengan keadaan terjengkang ditanah ditambah kondisi basah kuyup, spontan emosinya naik dan marah. Tapi demi melihat bahwa pendorongnya adalah Ki Ageng Prawira Purba maka sebisa mungkin ditahannya emosi tersebut.
Pada waktu itu banyak yang meyakini bahwa barangsiapa dipermalukan atau mendapat perlakuan yang kurang tepat dari Ki Ageng justru merupakan firasat bahwa dirinya nanti akan mendapat keberuntungan. Maka Wanasemita pun berdiam diri sambil menahan emosi serta berharap dia akan mendapat keberuntungan.
Kira kira sebulan kemudian Ki Ageng tiba tiba mendatangi tempat tinggal Wanasemita di atas gunung Polaman selatan Sedayu. Disaat tiba dirumah Wanasemita Ki Ageng langsung masuk rumah tanpa permisi atau mengucap apapun dan langsung duduk lesehan diruang depan karena tidak adaperaot rumah. Wanasemita yang mendengar suara orang batuk di kamar depan segera keluar kamar untuk melihat siapa yang batuk tersebut. Tiba tiba terkejutlah wanasemita demi melihat yang hadir adalah Ki Ageng dan sedang duduk di tanah beralaskan getepe. Teringatlah dia bahwa sebulan yang lalu dirinya dipermalukan di pasar Beringharjo, akan tetapi rasa hormat tetap ada didalam hatinya. Maka digelarlah tikar pandan sebagai upaya menghormati tamunya. Akan tetapi Ki Ageng tetap tidak mau dan memaksa duduk di getepe.
Segala hidangan yang disuguhkan juga ditolak, Ki Ageng hanya menerima suguhan minuman saja. Setelah beberapa saat Ki Ageng beranjak keluar rumah dan melihat lihat pekarangan. Wanasemita masih belum memahami kemauan tamunya tersebut, maka dia hanya mengikuti saja. Setelah sekian lama berjalan jalan jauh di sekitar kampung maka Ki Ageng berhenti di sebuah gua sebelah tenggara lereng bukit. Dengan berjalan dan termangu mangu ki Ageng berkata "menika satunggaling makam kina, makam naratapa majapahit" (ini makam kuna, salah satu pertapa majapahit). Gua menika pertapanipun, lan mestinipun mboten namung setunggal makam punika aslinipun gangsal sedayanipun (gua ini adalah tempat pertapaannya dan mestinya bukan cuma satu makam saja akan tetapi ada 5).
Ki Ageng menuruni lereng arah utara dan tidak jauh dari lokasi itu ditunjuk agar wanasemita menggali, Ki Ageng meninggalkan tempat itu dengan pesan suatu saat akan datang lagi membangun makam tersebut. Penggalian pertama oleh wanasemita ditemukan mata air, dari bentuk tepiannya diduga mata air tersebut bikinan manusia. Penggalian demi penggalian dilakukan dan ditemukan tiga mata air. Diperlukan waktu dua minggu untuk menggali, dan setelah selesai maka wanasemita melapor kepada Ki Ageng.
Pada akhir pemugaran maka dilakukan selamatan, pengunjung banyak yang datang bergotongroyong. Banyak pula yang sibuk menyiapkan makanan dan merebus minuman. Tetapi telah berjamjam direbus minuman tetap saja air tidak bisa mendidih, peristiwa tersebut akhirnya mengundang banyak orang yangmelihat dan akhirnya tersiar kabar bahwa air di mata air tersebut adalah air ajaib. Dan Polaman kedatangan banyak tamu untuk melihat mata air tersebut (sendang).
Pada peristiwa pemugaran tersebut terungkaplah bahwa setelah keruntuhan Majapahit, seluruh putera Brawijaya menyebar keseluruh nusantara. Putera yang ke 91 bernama raden Paneti (putera Prembi) menghabiskan sisa hidupnya menetap di Polaman, dan sampai akhir hayatnya dimakamkan di Polaman.
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 14
Lari lari mengelilingi mobil berjalan
Tingkah laku Ki Ageng sukar diduga oleh siapa saja. Kalau sedang diam nampak begitu angker berwibawa, dan kalau sudah seperti itu tidak akan ada yang dapat membuatnya berbicara. Apabila harus berbicarapun maka kata kata yang keluar adalah kata kata yang singkat tepat dan berwibawa. Tetapi terkadang juga sikap beliau yang angker tersebut secara tiba tiba dapat berubah menjadi lucu kekanak kanakan sehingga membuat orang lain hilang rasa takutnya.
Pada suatu hari terlihat sebuah mobil melaju dari keraton menuju ke utara, nampak mobil tersebut dikemudikan seorang pribumi dengan mengenakan blangkon dan baju warna putih dan duduk di kursi belakang seorang Belanda. Tiba tiba dari arah Kantor Pos terlihat seorang Gembel berlari mengejar mobil tersebut, sekilas pemandangan terlihat lucu (jaman dulu mobil masih jarang, dan terkadang anak anak berlarian mengejar mobil karena jarang melihat). Akan tetapi anehnya mobil yang melaju tersebut dapat dikejar oleh si gembel, bahkan sambil mobil berjalan si gembel berlari mengikuti sambil mengelilingi mobil tersebut. Hal ini membuat sopir menjadi bingung dalam mengendalikan mobil sehingga terpontang panting dalam mengemudikannya. Kejadian tersebut hanya berlangsung singkat, akan tetapi sopir yang masih kacau pikirannya mengemudi dengan pontang panting sambil gugup hingga akhirnya mobil tersebut baru bisa berhenti setelah menabrak sebuah rumah di depan bioskop Indra (sekitar utara Mirota Batik depan Pasar Beringharjo). Kecelakaan tersebut merenggut korban jiwa si orang Belanda, sedangkan si sopir hanya luka ringan, adapun mobil rusak.
Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1920an, dan banyak yang menafsirkan bahwa kejadian tersebut merupakan firasat atau perlambang yaitu:
1. Mobil meninggalkan keraton dapat diartikan Belanda akan meninggalkan kekuasaan (keraton)
2. Alun alun melambangkan pusat segala kegiatan (artinya yang ditinggalkan Belanda bukan cuma kekuasaan,tetapi juga meliputi semua pengaruhnya)
3. Mobil dipermainkan seperti main kucing kucingan diartikan perang gerilya yang seperti kucing kucingan akan terjadi melawan Belanda.
4. Mobil dilepas dan menabrak rumah menggambarkan kekalahan Belanda.
Rumah Ki Ageng Kebobolan Pencuri
Walau seorang arif bijaksana dapat tahu sesuatu yang akan terjadi, akan tetapi sebagai manusia tetap tidak lepas dari garis takdir dan ketentuan Tuhan. Semua itu untuk menunjukkan bahwa manusia sejatinya hanyalah mahluk lemah yang tidak berkuasa atas apapun. Alkisah seorang laki laki bernama Atmo, sering dipanggil Atmo rembes (e untuk edan) rembes berarti mata yang kotor dan sering ada tahi mata. Atmo rembes tinggal di desa Tegalgendu, dia sering mendapat kepercayaan untuk menunggu rumah Ki Ageng di jl.Tukangan terkadang untuk beberapa hari.
Suatu hari Ki Ageng sekeluarga beserta Nyi Kasihan dan Surip hendak pergi ke Demak menengok saudaranya yang menjadi istri Bupati Demak. Selain kunjungan keluarga juga ada rencana ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sebagai tanda kasih RAA Harya Hadiningrat yang isteri Bupati tersebut memberi uang sebesar f 400,- kepada adiknya Raden Bekel Prawira Purba. Sedang Nyi Kasihan mendapat hadiah beberapa lembar kain batik. Mereka juga dihantarkan mengunjungi makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, dan setelah kunjungan selesai maka sekeluarga kembali melanjutkan perjalanan dengan naik KA ke Solo. Sepanjang perjalanan KA seperti biasa Ki Ageng terdiam dengan mata terpejam seperti bermeditasi, adapun istri dan anaknya asyik dengan kesibukan masing masing. Tiba tiba Ki Ageng berbicara memecah kesibukan masing masing, beliau berkata"mangke arta kula caosaken" (nanti uang saya serahkan). Setelah itu beliau kembali terdiam dan masing masing kembali ke kesibukan masing masing. Sesampai di stasiun Gundih, Ki Ageng mengeluarkan uang dan menyerahkan ke Nyi Kasihan, dan Nyi Kasihan juga menerima dengan wajar. Sore hari mereka sampai di Yogyakarta dan turun di Stasiun Lempuyangan, Ki Ageng berkata "mangga kula atur kundur rumiyin" (silahkan pulang duluan) maka Surip dan Nyi Kasihan pulang dengan naik andong.
Sesampai di rumah ternyata atmo yang disuruh menunggu rumah tidak kelihatan batang hidungnya, dan seisi rumah terrkuras habis, rupanya atmo telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan. Sebagai seorang istri orang linuwih Nyai Kasihan menerima dengan tabah akan ujian ini. Bahkan Nyi Kasihan beranggapan ini mungkin peringatan baginya agar tidak terlalu memikirkan harta duniawi, walaupun sebenarnya bila Ki Ageng ingin mencari harta dunia maka rumah tersebut tentu tidak akan muat menampung harta yang dapat diperoleh. Akan tetapi justru Ki Ageng yang sudah lepas dari duniawi tidak banyak menyimpan harta dirumah.
Menurut Nyai Kasihan sebenarnya Ki Ageng sudah sedikit menyinggung dengan menyatakan akan menyerahkan semua uang yang didapat dari Demak, akan tetapi Nyi Kasihan kurang tanggap akan hal tersebut. Ditambah dengan keputusan Ki Ageng yang tidak mau langsung kembali ke rumah setiba di stasiun Lempuyangan sekaligus menunjukkan bahwa Ki Ageng sudah tidak terikat dengan kebendaan dan beliau tidak mau direpotkan dan dibuat sedih akan peristiwa kehilangan dirumahnya.
Kritik untuk Seorang Ulama
Alkisah seorang ulama bernama Raden Bei Mangunpragola yang tinggal di Kemetiran dan tekun menjalani ibadah. Sudah menjadi kebiasaan beliau berjalan kaki menuju masjid untuk beribadah, sekaligus bersilaturahmi dengan kenalan di sepanjang jalan menuju masjid. Pada suatu hari Jumat sepulang dari Shalat Jumat Raden Bei berjalan bersama sama jamaah lain pulang menuju rumah masing masing. Tiba tiba diantara sekian banyak orang tersebut menyeruak dan menerobos rombongan dan dia adalah si gembel Ki Ageng Purba . Dihadapan Raden Bei Mangunpragola Ki Ageng Prawira Purba melepas gamparan (alas kaki) sambil berkata"dhewe dhewe anggone, dhewe dhewe anggone, dhewe dhewe anggone"(Masing masing pemakaiannya). Banyak orang menghindar dan menjauh karena segan, akan tetapi Raden Bei tidak sempat menghindar, dan sepertinya justru dirinyalah (Raden Bei Mangunpragola) yang menjadi tujuan perbuatan Ki Ageng tersebut.
Raden Bei merenungkan maksud perbuatan Ki Ageng tersebut, dhewe dhewe anggone, sedangkan dua buah gamparan kanan dan kiri adalah dua barang yang serpa tadi tidak sama, Akan tetapi selalu dipakai bersama sama. Mungkin dimaksudkan dua hal yang lain pemakaiannya tetapi sebenarnya yang itu juga. Kemudian dihubungkan pula dengan trejadinya perisiwa disaat pukang Jumatan, pasti hal tersebut ada hubungannya dengan pengamalan iman.
Setelah lama merenungkan Raden Bei mengakui bahwa memang tepat isarat Ki Ageng bahwa walaupun dirinya (Raden Bei) merupakan orang yang rajin menjalankan ibadah, akan tetapi caranya masih terrbatas dalam shalat lima waktu. Adapun amal perbuatannya masih belum sesuai dengan keimanannya. Mungkin isarat tersebut merupakan anjuran atau kritik kepada Raden Bei dalam menunaikan ibadah. Juga sisi kiri dan kanan gamparan adalah bentuk berbeda akan tetapi memiliki fungsi sama, bahwa dalam tataran tertentu agama sebenarnya mengajarkan hal yang sama yaitu kebenaran dan kebaikan.
Semenjak saat itu Raden Bei melakukan perenungan mendalam terhadap ilmu agama, sehingga akhirnya dapat mencapai ilmu hakekat dan disertai pengamalan dalam kehidupan sehingga hidupnya berimbang dan harmonis dalam dalam ibadah maupun dalam pergaulan. Kesimpulan isarat Ki Ageng tersebut adalah bagaimana cara agar dalam menunaikan ibadah jangan terbatas tata lahir saja, akan tetapi harus mendalam dalam sanubari sehingga dapat terpancar pada perbuatan serta sikap dalam perbuatan.
repost kaskus TS "mdiwse"
Tingkah laku Ki Ageng sukar diduga oleh siapa saja. Kalau sedang diam nampak begitu angker berwibawa, dan kalau sudah seperti itu tidak akan ada yang dapat membuatnya berbicara. Apabila harus berbicarapun maka kata kata yang keluar adalah kata kata yang singkat tepat dan berwibawa. Tetapi terkadang juga sikap beliau yang angker tersebut secara tiba tiba dapat berubah menjadi lucu kekanak kanakan sehingga membuat orang lain hilang rasa takutnya.
Pada suatu hari terlihat sebuah mobil melaju dari keraton menuju ke utara, nampak mobil tersebut dikemudikan seorang pribumi dengan mengenakan blangkon dan baju warna putih dan duduk di kursi belakang seorang Belanda. Tiba tiba dari arah Kantor Pos terlihat seorang Gembel berlari mengejar mobil tersebut, sekilas pemandangan terlihat lucu (jaman dulu mobil masih jarang, dan terkadang anak anak berlarian mengejar mobil karena jarang melihat). Akan tetapi anehnya mobil yang melaju tersebut dapat dikejar oleh si gembel, bahkan sambil mobil berjalan si gembel berlari mengikuti sambil mengelilingi mobil tersebut. Hal ini membuat sopir menjadi bingung dalam mengendalikan mobil sehingga terpontang panting dalam mengemudikannya. Kejadian tersebut hanya berlangsung singkat, akan tetapi sopir yang masih kacau pikirannya mengemudi dengan pontang panting sambil gugup hingga akhirnya mobil tersebut baru bisa berhenti setelah menabrak sebuah rumah di depan bioskop Indra (sekitar utara Mirota Batik depan Pasar Beringharjo). Kecelakaan tersebut merenggut korban jiwa si orang Belanda, sedangkan si sopir hanya luka ringan, adapun mobil rusak.
Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1920an, dan banyak yang menafsirkan bahwa kejadian tersebut merupakan firasat atau perlambang yaitu:
1. Mobil meninggalkan keraton dapat diartikan Belanda akan meninggalkan kekuasaan (keraton)
2. Alun alun melambangkan pusat segala kegiatan (artinya yang ditinggalkan Belanda bukan cuma kekuasaan,tetapi juga meliputi semua pengaruhnya)
3. Mobil dipermainkan seperti main kucing kucingan diartikan perang gerilya yang seperti kucing kucingan akan terjadi melawan Belanda.
4. Mobil dilepas dan menabrak rumah menggambarkan kekalahan Belanda.
Rumah Ki Ageng Kebobolan Pencuri
Walau seorang arif bijaksana dapat tahu sesuatu yang akan terjadi, akan tetapi sebagai manusia tetap tidak lepas dari garis takdir dan ketentuan Tuhan. Semua itu untuk menunjukkan bahwa manusia sejatinya hanyalah mahluk lemah yang tidak berkuasa atas apapun. Alkisah seorang laki laki bernama Atmo, sering dipanggil Atmo rembes (e untuk edan) rembes berarti mata yang kotor dan sering ada tahi mata. Atmo rembes tinggal di desa Tegalgendu, dia sering mendapat kepercayaan untuk menunggu rumah Ki Ageng di jl.Tukangan terkadang untuk beberapa hari.
Suatu hari Ki Ageng sekeluarga beserta Nyi Kasihan dan Surip hendak pergi ke Demak menengok saudaranya yang menjadi istri Bupati Demak. Selain kunjungan keluarga juga ada rencana ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sebagai tanda kasih RAA Harya Hadiningrat yang isteri Bupati tersebut memberi uang sebesar f 400,- kepada adiknya Raden Bekel Prawira Purba. Sedang Nyi Kasihan mendapat hadiah beberapa lembar kain batik. Mereka juga dihantarkan mengunjungi makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, dan setelah kunjungan selesai maka sekeluarga kembali melanjutkan perjalanan dengan naik KA ke Solo. Sepanjang perjalanan KA seperti biasa Ki Ageng terdiam dengan mata terpejam seperti bermeditasi, adapun istri dan anaknya asyik dengan kesibukan masing masing. Tiba tiba Ki Ageng berbicara memecah kesibukan masing masing, beliau berkata"mangke arta kula caosaken" (nanti uang saya serahkan). Setelah itu beliau kembali terdiam dan masing masing kembali ke kesibukan masing masing. Sesampai di stasiun Gundih, Ki Ageng mengeluarkan uang dan menyerahkan ke Nyi Kasihan, dan Nyi Kasihan juga menerima dengan wajar. Sore hari mereka sampai di Yogyakarta dan turun di Stasiun Lempuyangan, Ki Ageng berkata "mangga kula atur kundur rumiyin" (silahkan pulang duluan) maka Surip dan Nyi Kasihan pulang dengan naik andong.
Sesampai di rumah ternyata atmo yang disuruh menunggu rumah tidak kelihatan batang hidungnya, dan seisi rumah terrkuras habis, rupanya atmo telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan. Sebagai seorang istri orang linuwih Nyai Kasihan menerima dengan tabah akan ujian ini. Bahkan Nyi Kasihan beranggapan ini mungkin peringatan baginya agar tidak terlalu memikirkan harta duniawi, walaupun sebenarnya bila Ki Ageng ingin mencari harta dunia maka rumah tersebut tentu tidak akan muat menampung harta yang dapat diperoleh. Akan tetapi justru Ki Ageng yang sudah lepas dari duniawi tidak banyak menyimpan harta dirumah.
Menurut Nyai Kasihan sebenarnya Ki Ageng sudah sedikit menyinggung dengan menyatakan akan menyerahkan semua uang yang didapat dari Demak, akan tetapi Nyi Kasihan kurang tanggap akan hal tersebut. Ditambah dengan keputusan Ki Ageng yang tidak mau langsung kembali ke rumah setiba di stasiun Lempuyangan sekaligus menunjukkan bahwa Ki Ageng sudah tidak terikat dengan kebendaan dan beliau tidak mau direpotkan dan dibuat sedih akan peristiwa kehilangan dirumahnya.
Kritik untuk Seorang Ulama
Alkisah seorang ulama bernama Raden Bei Mangunpragola yang tinggal di Kemetiran dan tekun menjalani ibadah. Sudah menjadi kebiasaan beliau berjalan kaki menuju masjid untuk beribadah, sekaligus bersilaturahmi dengan kenalan di sepanjang jalan menuju masjid. Pada suatu hari Jumat sepulang dari Shalat Jumat Raden Bei berjalan bersama sama jamaah lain pulang menuju rumah masing masing. Tiba tiba diantara sekian banyak orang tersebut menyeruak dan menerobos rombongan dan dia adalah si gembel Ki Ageng Purba . Dihadapan Raden Bei Mangunpragola Ki Ageng Prawira Purba melepas gamparan (alas kaki) sambil berkata"dhewe dhewe anggone, dhewe dhewe anggone, dhewe dhewe anggone"(Masing masing pemakaiannya). Banyak orang menghindar dan menjauh karena segan, akan tetapi Raden Bei tidak sempat menghindar, dan sepertinya justru dirinyalah (Raden Bei Mangunpragola) yang menjadi tujuan perbuatan Ki Ageng tersebut.
Raden Bei merenungkan maksud perbuatan Ki Ageng tersebut, dhewe dhewe anggone, sedangkan dua buah gamparan kanan dan kiri adalah dua barang yang serpa tadi tidak sama, Akan tetapi selalu dipakai bersama sama. Mungkin dimaksudkan dua hal yang lain pemakaiannya tetapi sebenarnya yang itu juga. Kemudian dihubungkan pula dengan trejadinya perisiwa disaat pukang Jumatan, pasti hal tersebut ada hubungannya dengan pengamalan iman.
Setelah lama merenungkan Raden Bei mengakui bahwa memang tepat isarat Ki Ageng bahwa walaupun dirinya (Raden Bei) merupakan orang yang rajin menjalankan ibadah, akan tetapi caranya masih terrbatas dalam shalat lima waktu. Adapun amal perbuatannya masih belum sesuai dengan keimanannya. Mungkin isarat tersebut merupakan anjuran atau kritik kepada Raden Bei dalam menunaikan ibadah. Juga sisi kiri dan kanan gamparan adalah bentuk berbeda akan tetapi memiliki fungsi sama, bahwa dalam tataran tertentu agama sebenarnya mengajarkan hal yang sama yaitu kebenaran dan kebaikan.
Semenjak saat itu Raden Bei melakukan perenungan mendalam terhadap ilmu agama, sehingga akhirnya dapat mencapai ilmu hakekat dan disertai pengamalan dalam kehidupan sehingga hidupnya berimbang dan harmonis dalam dalam ibadah maupun dalam pergaulan. Kesimpulan isarat Ki Ageng tersebut adalah bagaimana cara agar dalam menunaikan ibadah jangan terbatas tata lahir saja, akan tetapi harus mendalam dalam sanubari sehingga dapat terpancar pada perbuatan serta sikap dalam perbuatan.
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 13
Mengadu kepandaian dengan orang Jepang
Jaman dahulu di Yogya terdapat satu toko milik orang Jepang, yaitu toko Fuji yang terletak di Jl. Malioboro. Mungkin toko tersebut adalah toko double bisnis, sepintas lalu berjualan untuk melayani kebutuhan masyarakat, akan tetapi dibalik itu juga dipakai sebagai kegiatan spionase Jepang untuk kepentingan persiapan penjajahan.
Pada saat itu Ki Ageng sudah mempunyai tempat-tempat yang dikunjungi secara tetap sebagai pos untuk praktek melayani masyarakat. Salah satu dari tempat tersebut adalah rumah pak Karto di jl. Ngadisuryan. Pada suatu waktu dirumah Pak Karto banyak dikerumuni orang yang asik mendengarkan pembicaraan ki Ageng dengan seorang Jepang pemilik toko Fuji. Rupanya Ki Ageng ingin memberi bukti kebisaannya kepada tamunya tersebut. Ki Ageng meminta kepada toke toko Fuji mengadu kecepatan mengambil barang. Kepada tamunya dipersilahkan mengambil teko milik tamunya (orang Jepang tersebut) dimana saja. Tetapi oleh tamunya dijawab bahwa kedatangannya di Yogyakarta tidak membawa teko, kalau punya itu juga ada di negerinya di Jepang. Tetapi Ki Ageng tetap saja mengajak bertanding. Dengan terpaksa akhirnya diterima juga tantangan Ki Ageng tersebut.
Dalam batin orang Jepang ingin menguji kebenaran pertandingan seperti anak kecil ini, padahal maksud utamanya adalah ingin mendekati dan mempelajari kewibawaan serta potensi Ki Ageng Prawira Purba tersebut. Sekedar memenuhi ajakan sang Jepang pun berlalu menuju ke Jl. Tukangan 17 untuk mengambil teko milik Ki Ageng. Dirumah Ki Ageng tersebut diambillah teko milik Ki Ageng dan segera dibawa ke Ngadisuryan untuk membuktikan membawa barang yang dipertaruhkan. Si orang Jepang tersebut merasa dipermainkan karena dia sudah mengambilkan teko Ki Ageng dirumahnya sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki satupun teko di toko Fuji di Yogyakarta. Akan tetapi saat dirinya tiba di Ngadisuryan, terkejutlah dirinya karena dilihatnya Ki Ageng sedang menghadap satu stel teko. Ditengah keterkejutannya tersebut, si orang Jepang menanyakan kepada Ki Ageng milik siapakah teko tersebut? Jawab Ki Ageng silahkan diperiksa denganteliti dan betul, siapa pemiliknya anda pasti tahu. Semakin lama diteliti, diperiksa berulang-ulang semakin lama dari perasaan argu-ragu berubah menjadi perasan kagum. Bahwa teko tersebut adalah benar-benar miliknya yang berada di Jepang dan diapun mengakui bahwa Ki Ageng memang benar-benar orang yang istimewa karena mampu mendatangkan teko miliknya dalam waktu yang singkat.
Pengamen yang celaka
Alkisah di desa Turen Cebongan Sleman terdapat dua bersaudara bernama Widikucir dan Cermo, keduanya merupakan anak dari dalang bernama Kyai Warak. Karena memilik darah seni dari orang tuanya maka kedua bersaudara tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pengamen.
Pada suatu hari Cap Go Meh kedua bersaudara tersebut melakukan perjalanan mengamen keliling terutama ke rumah-rumah keturunan Cina. Hari itu keduanya beruntung mendapat borongan bermain topeng dirumah seorang keturunan Cina di daerah Kricak. Permainan topeng tersebut sudah demikian matang bagi dua bersaudara tersebut sehingga mampu merebut hati para penonton. Selesaimbermain keduanya beristirahat dipinggir jalan sambil menghitung perolehan hari itu. Selagi keduanya asyik menghitung uang, tiba tiba dari jauh datang Ki Ageng Prawira Purba dari arah selatan. Adapun Cermo bersaudara yang sudah sering mendengar nama Ki Ageng tentu tidak menyianyiakan kesempatan untuk memohon doa restu. Segera keduanya menyongsong datangnya Ki Ageng seraya menghaturkan hormat.
Akan tetapi bukan petuah atau nasihat yang mereka dapat, melainkan Ki Ageng memberi keduanya masing-masing uang satu setengah sen. Widikucir diperintahkan untuk menghabiskan uang tersebut untuk membeli pisang ambon, adapun Cermo diperintahkan menghabiskan uangnya untuk menghabiskan dawet. Setelah keduanya menghabiskan pisang dan dawet tersebut, maka Ki Ageng pun beranjak pergi. Kedua bersaudara tersebut termenung dan merasa berbesar hati karena yakin akan kesaktian Ki Ageng. Selain itu jarang-jarang orang yang pernah ditraktir dan diberi uang oleh Ki Ageng. Namun yang terjadi kemudian sungguh tidak mengenakkan hati. Saat sampai di desa mereka tempat tinggal, mereka mendapat kabar bahwa rumah widikucir terbakar habis menjadi abu. Adapun Cermo tiba tiba menderita penyakit aneh yaitu sekujur lubang tubuh cermo menderita penyakit dan mengeluarkan nanah.
Setelah keduanya berunding, keduanya merasa bersalah karena mungkin kurang hormat kepada beliau. Keesokan harinya keduanya memutuskan untuk pergi sowan dan meminta maaf ke Ki Ageng. Setelah mencari cari informasi, maka datanglah keduanya ke rumah Ki Ageng untuk memohon maaaf. Akan tetapi yang berada di rumah hanya Nyi Kasihan dan Surip, sedangkan Ki Ageng sedang keluar rumah. Demi membantu tamunya tersebut, maka Nyi Kasihan dengan diserai Surip menghantar tamunya untuk mencari Ki Ageng dengan menaiki andong mereka berempat mendatangi tempat tempat Ki Ageng biasa berada. Tepat di depan gapura masjid mereka berhasil menemukan Ki Ageng, sembari melaporkan keperluan tersebut Nyi Kasihan juga hendak menyerahkan gaji Ki Ageng sebagai Bekel yang masih terus mendapat gaji dari Keraton. Ujar Nyi Kasihan "Ndoro niki kula ingkang sowan badhe nyaosaken blanja saking keraton" (Tuan saya menghadap hendak menyampaikan gaji dari keraton). Jawab Ki Ageng " mboten,mboten,mboten,sampun, wong kula mboten myambut damel kok di blanja"(jangan,jangan,jangan, saya tidak bekerja kok mendapat gaji). Ujar Nyi Kasihan ""eh mboten ngaten ndara, mboten sae nampik paringipun ngarso dalem" (jangan begitu tuan, tidak baik menolak pemberian raja). Ki Ageng sambil terpejam matanya berulang kali menggeleng menolak, maka terpaksa Nyi Kasihan membuka jari genggaman Ki Ageng dan semua uang dimasukkan dalam genggaman beliau. Uang gaji tersebut kemudian menambah isi kantong kantong yang terjait pada baju Ki Ageng. Setelah itu Nyi Kasihan melaporkan Cermo bersaudara dari Cebongan yang ingin menghadap. Setelah itu keduanya menceritakan semua peristiwa yang mereka berdua alami. Ki Ageng tidak berkomentar banyak, beliau mengatakan "wis ora ana apa apa, bali,bali,bali" sudah tidak apa apa, pulang,pulang,pulang.
Sesampainya dirumah, Cermo yang sakitpun sembuh, adapun Widikucir yang habis harta bendanya kembali menekuni usaha dengan sisa sisa yang ada. Justru dengan tekun mereka berguru kepada Ki Ageng sambil bercitacita menyusun harta mereka kembali. Bertahun tahun mereka menuntut ilmu kepada Ki Ageng, bahkan orang tua mereka yaitu Kyai Warak juga ikut berguru. Hubungan paseduluran tersebut berlanjut, bahkan kadang Ki Ageng juga datang ke desa turen untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Diketahui pula bahwa Kyai Warak memiliki pusaka selembar iket berwarna wulung konon berasal dari jaman Demak. Menurut Ki Ageng pusaka tersebut merupakan iket pangruwat untuk dipakai bila memainkan lakon ceritera Murwakala.mSelain berwarna wulung, juga bertuliskan arab hasil peninggalan Sunan Kalijaga. Demikianlah keluarga Warak tersebut dikemudian hari turun temurun menekuni seni wayang.
Jaman dahulu di Yogya terdapat satu toko milik orang Jepang, yaitu toko Fuji yang terletak di Jl. Malioboro. Mungkin toko tersebut adalah toko double bisnis, sepintas lalu berjualan untuk melayani kebutuhan masyarakat, akan tetapi dibalik itu juga dipakai sebagai kegiatan spionase Jepang untuk kepentingan persiapan penjajahan.
Pada saat itu Ki Ageng sudah mempunyai tempat-tempat yang dikunjungi secara tetap sebagai pos untuk praktek melayani masyarakat. Salah satu dari tempat tersebut adalah rumah pak Karto di jl. Ngadisuryan. Pada suatu waktu dirumah Pak Karto banyak dikerumuni orang yang asik mendengarkan pembicaraan ki Ageng dengan seorang Jepang pemilik toko Fuji. Rupanya Ki Ageng ingin memberi bukti kebisaannya kepada tamunya tersebut. Ki Ageng meminta kepada toke toko Fuji mengadu kecepatan mengambil barang. Kepada tamunya dipersilahkan mengambil teko milik tamunya (orang Jepang tersebut) dimana saja. Tetapi oleh tamunya dijawab bahwa kedatangannya di Yogyakarta tidak membawa teko, kalau punya itu juga ada di negerinya di Jepang. Tetapi Ki Ageng tetap saja mengajak bertanding. Dengan terpaksa akhirnya diterima juga tantangan Ki Ageng tersebut.
Dalam batin orang Jepang ingin menguji kebenaran pertandingan seperti anak kecil ini, padahal maksud utamanya adalah ingin mendekati dan mempelajari kewibawaan serta potensi Ki Ageng Prawira Purba tersebut. Sekedar memenuhi ajakan sang Jepang pun berlalu menuju ke Jl. Tukangan 17 untuk mengambil teko milik Ki Ageng. Dirumah Ki Ageng tersebut diambillah teko milik Ki Ageng dan segera dibawa ke Ngadisuryan untuk membuktikan membawa barang yang dipertaruhkan. Si orang Jepang tersebut merasa dipermainkan karena dia sudah mengambilkan teko Ki Ageng dirumahnya sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki satupun teko di toko Fuji di Yogyakarta. Akan tetapi saat dirinya tiba di Ngadisuryan, terkejutlah dirinya karena dilihatnya Ki Ageng sedang menghadap satu stel teko. Ditengah keterkejutannya tersebut, si orang Jepang menanyakan kepada Ki Ageng milik siapakah teko tersebut? Jawab Ki Ageng silahkan diperiksa denganteliti dan betul, siapa pemiliknya anda pasti tahu. Semakin lama diteliti, diperiksa berulang-ulang semakin lama dari perasaan argu-ragu berubah menjadi perasan kagum. Bahwa teko tersebut adalah benar-benar miliknya yang berada di Jepang dan diapun mengakui bahwa Ki Ageng memang benar-benar orang yang istimewa karena mampu mendatangkan teko miliknya dalam waktu yang singkat.
Pengamen yang celaka
Alkisah di desa Turen Cebongan Sleman terdapat dua bersaudara bernama Widikucir dan Cermo, keduanya merupakan anak dari dalang bernama Kyai Warak. Karena memilik darah seni dari orang tuanya maka kedua bersaudara tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pengamen.
Pada suatu hari Cap Go Meh kedua bersaudara tersebut melakukan perjalanan mengamen keliling terutama ke rumah-rumah keturunan Cina. Hari itu keduanya beruntung mendapat borongan bermain topeng dirumah seorang keturunan Cina di daerah Kricak. Permainan topeng tersebut sudah demikian matang bagi dua bersaudara tersebut sehingga mampu merebut hati para penonton. Selesaimbermain keduanya beristirahat dipinggir jalan sambil menghitung perolehan hari itu. Selagi keduanya asyik menghitung uang, tiba tiba dari jauh datang Ki Ageng Prawira Purba dari arah selatan. Adapun Cermo bersaudara yang sudah sering mendengar nama Ki Ageng tentu tidak menyianyiakan kesempatan untuk memohon doa restu. Segera keduanya menyongsong datangnya Ki Ageng seraya menghaturkan hormat.
Akan tetapi bukan petuah atau nasihat yang mereka dapat, melainkan Ki Ageng memberi keduanya masing-masing uang satu setengah sen. Widikucir diperintahkan untuk menghabiskan uang tersebut untuk membeli pisang ambon, adapun Cermo diperintahkan menghabiskan uangnya untuk menghabiskan dawet. Setelah keduanya menghabiskan pisang dan dawet tersebut, maka Ki Ageng pun beranjak pergi. Kedua bersaudara tersebut termenung dan merasa berbesar hati karena yakin akan kesaktian Ki Ageng. Selain itu jarang-jarang orang yang pernah ditraktir dan diberi uang oleh Ki Ageng. Namun yang terjadi kemudian sungguh tidak mengenakkan hati. Saat sampai di desa mereka tempat tinggal, mereka mendapat kabar bahwa rumah widikucir terbakar habis menjadi abu. Adapun Cermo tiba tiba menderita penyakit aneh yaitu sekujur lubang tubuh cermo menderita penyakit dan mengeluarkan nanah.
Setelah keduanya berunding, keduanya merasa bersalah karena mungkin kurang hormat kepada beliau. Keesokan harinya keduanya memutuskan untuk pergi sowan dan meminta maaf ke Ki Ageng. Setelah mencari cari informasi, maka datanglah keduanya ke rumah Ki Ageng untuk memohon maaaf. Akan tetapi yang berada di rumah hanya Nyi Kasihan dan Surip, sedangkan Ki Ageng sedang keluar rumah. Demi membantu tamunya tersebut, maka Nyi Kasihan dengan diserai Surip menghantar tamunya untuk mencari Ki Ageng dengan menaiki andong mereka berempat mendatangi tempat tempat Ki Ageng biasa berada. Tepat di depan gapura masjid mereka berhasil menemukan Ki Ageng, sembari melaporkan keperluan tersebut Nyi Kasihan juga hendak menyerahkan gaji Ki Ageng sebagai Bekel yang masih terus mendapat gaji dari Keraton. Ujar Nyi Kasihan "Ndoro niki kula ingkang sowan badhe nyaosaken blanja saking keraton" (Tuan saya menghadap hendak menyampaikan gaji dari keraton). Jawab Ki Ageng " mboten,mboten,mboten,sampun, wong kula mboten myambut damel kok di blanja"(jangan,jangan,jangan, saya tidak bekerja kok mendapat gaji). Ujar Nyi Kasihan ""eh mboten ngaten ndara, mboten sae nampik paringipun ngarso dalem" (jangan begitu tuan, tidak baik menolak pemberian raja). Ki Ageng sambil terpejam matanya berulang kali menggeleng menolak, maka terpaksa Nyi Kasihan membuka jari genggaman Ki Ageng dan semua uang dimasukkan dalam genggaman beliau. Uang gaji tersebut kemudian menambah isi kantong kantong yang terjait pada baju Ki Ageng. Setelah itu Nyi Kasihan melaporkan Cermo bersaudara dari Cebongan yang ingin menghadap. Setelah itu keduanya menceritakan semua peristiwa yang mereka berdua alami. Ki Ageng tidak berkomentar banyak, beliau mengatakan "wis ora ana apa apa, bali,bali,bali" sudah tidak apa apa, pulang,pulang,pulang.
Sesampainya dirumah, Cermo yang sakitpun sembuh, adapun Widikucir yang habis harta bendanya kembali menekuni usaha dengan sisa sisa yang ada. Justru dengan tekun mereka berguru kepada Ki Ageng sambil bercitacita menyusun harta mereka kembali. Bertahun tahun mereka menuntut ilmu kepada Ki Ageng, bahkan orang tua mereka yaitu Kyai Warak juga ikut berguru. Hubungan paseduluran tersebut berlanjut, bahkan kadang Ki Ageng juga datang ke desa turen untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Diketahui pula bahwa Kyai Warak memiliki pusaka selembar iket berwarna wulung konon berasal dari jaman Demak. Menurut Ki Ageng pusaka tersebut merupakan iket pangruwat untuk dipakai bila memainkan lakon ceritera Murwakala.mSelain berwarna wulung, juga bertuliskan arab hasil peninggalan Sunan Kalijaga. Demikianlah keluarga Warak tersebut dikemudian hari turun temurun menekuni seni wayang.
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 12
Datang di Singapura
Di suatu hari di serambi Grand Hotel (Hotel Garuda) seorang tamu berkebangsaan Inggris terlihat duduk di halaman hotel sambil melihat Malioboro yang sibuk dan ramai orang berlalulalang. Diantara yang berlalulang tersebut adalah Si Gembel Ki Ageng dengan pakaiannya yang khas. Tamu orang Inggris tersebut rupanya tertarik demi melihat keunikan Ki Ageng, karena rasa ingin tahunya maka dipanggilnya jongos hotel untuk mendatangkan si gembel. Jongos yang bernama Joyokeling disebut demikian karena orangnya tinggi hitam, sehingga dipanggil Keling karena mirip orang Keling. Joyokeling dijanjikan si tamu Inggris uang sebesar 10 gulden bila dapat mendatangkan si gembel kehadapan si orang Inggris ini.
Dalam hati Joyokelingpun bertanya-tanya, kepentingan apakah si orang Ingris ini dengan Ki Ageng? Karena sampai rela mengeluarkan sejumlah uang demi bertemu dengan Ki Ageng. Sambil berlari-lari kecil maka Joyokeling ini mengejar Ki Ageng yang barusaja lewat depan Grand hotel, anehnya makin dikejar makin jauh pula jarak antar Ki Ageng dengan Joyokeling tersebut. Hingga setelah beberapa lama mengejar akhirnya hilanglah Ki Ageng dari pandangan Joyokeling. Demi besarnya hadiah yang dijanjikan maka Joyokeling pantang menyerah, dicarinya Ki Ageng ditempat-tempat yang biasa dikunjungi termasuk di rumahnya di Tukangan akan tetapi hasilnya nihil. Setelah sekian lama berupaya mencari akan tetapi tidak berhasil juga ditemukan, maka dengan kecewa kembalilah Joyokeling ke hotel impiannya mendapat rejeki nomplo f 10 sirna, jumlah tersebut cukup besar karena gajinya sebulan yang sebesar f 12,5.
Setibanya di hotel disampaikanlah kepada orang Inggris tersebut, bahwa dirinya tidak berhasil mengejar Ki Ageng akan tetapi bila tuan membutuhkan pertolongannya saya bias antar kerumahnya. Kata orang Inggris “apa yang jongos maksud dengan pertolongan? Apakah yang si gembel bisa lakukan untuk menolong ?pertolongan apa yang bias dia lakukan untuk saya?
Kata Joyo” mungkin tuan membutuhkan pertolongan penyembuhan suatu penyakit, atau tuan punya kesulitan dalam pekerjaan ataupun perdagangan, atau kesulitan di dlam rumahtangga atau lain keperluan mungkin Ki ageng dapat menolong.
Kata orang Inggris tersebut “ o, kalau itu semua yang jongos maksudkan, aku tidak yakin semua, kalu aku sakit dokter ada dan dapat mengobati penyakit, kesulitan urusan pekerjaan atau perdagangan aku punya pembantu yang jauh sangat mengetahui urusan itu, dan mereka sangat memuaskan untuk saya ajak berpikir dalam pekerjaan. Kesulitan dalam rumahtangga aku dapat datangkan penasehat yang berpengalaman menangani masalah rumah tangga. Dan itu semua tidak mungkin dapat si gembel yang lewat tadi lakukan".
Kata Joyokeling “jadi, apa yang tuan maksudkan, sehingga tuan berani membayar sepuluh gulden bila saya berhasil mendatangkan Ki Ageng Prawira Purba dihadapan tuan?”.
Jawab orang Inggris “ yang saya ingin tahu dan saya ingin bertanya kepada gembel tadi, cara dia berpakain memang asli demikian atau meniru cara orang lain?”.
Kata Joyokeling ”aneh juga pertanyaan yang tuan maksudkan, urusan pakaian gembel sampai begitu jauh tuan ingin mengetahui bahkan tuan berani bayar sepuluh gulden, saya kira suatu hal yang tidak mengena sasaran bila tuan bermaksud demikian itu. Tetapi mestinya ada hal yang lebih menarik dan menjadi perhatian tuan dengan si gembel.
Jawab orang Inggris “betul, ada rahasianya yang menjadi pertanyaanku selama ini. Seminggu yang lalu waktu aku berada di Singapura, tepat waktu kapal akan bertolak aku sempat melihat si gembel mondar-mandir di dermaga Singapura. Cara dia berjalan, bahkan pakaian yang dipakai gembel persis yang dipakai orang tadi. Kalau ada duanya saya piker tidak akan sama benar, sebab yang satu ada di seberang lautan. Tetapi kalau itu satu-satunya yang aku lihat tempo yang lalu aku kira tidak mungkin, sebab tidak ada kapal lain yang lebih cepat daripada yang aku tumpangi. Kalu dia memakai kendaraan lain lantas pakai apa dia kemari? Dan itu semua tetap tidak mungkin.
Kata Joyo “kalau hanya sekedar itu yang tuan inginkan kiranya tidak perlu susah mencari orang tersebut untuk didatangkan kemari. Jawaban yang benar akan maksud tuan justru orangnya yang itu juga yang tuan telah lihat di Singapura. Namanya Raden Bekel Prawira Purba dan jangan anggap dia gembel, sebenarnya apasaja yang dia kehendaki banyak yang terjadi, bahkan kejadiannya serba tidak masuk diakal dan diluar batas kemampuan manusia biasa. Kalau tuan ingin tahu keanehan yang lain tuan dapat bertanya kepada tuan-tuan Belanda di Karesidenan atau Gupernuran mereka banyak tahu bagaimana RB Prawira Purba menunjukkan kebisaannya dihaapan tamu-tamu undangan di pendapa Keraton, bagaimana kursi-kursi dapat jalan sendiri menyusun secara rapih.
Tanggapan tamu Inggris
Memang serba aneh orang Hindia Belanda ini, khayalan mereka terlalu berlebihan seperti dalam impian saja. Biar bagaimanapun juga aku belum dapat percaya semua mimpi-mimpi itu. Kecuali kalau aku dapat menyaksikan kejadian yang sebenarnya. Bagaimana mungkin orang lain bias lebih cepat tiba di Jawa daripada perjalanan yang aku tempuh, padahal dia gembel bagaimana mungkin naik kendaraan lain yang lebih cepat dari kapal yang aku tumpangi.
Peristiwa tersebut tetap menjadi misteri bagi orang Inggris tersebut, tetapi banyak orang di Yogyakarta yakin bahwa sosok gembel yang ada di Singapura tersebut tak lain adalah Ki Ageng Prawira Purba.
repost kaskus TS "mdiwse"
Di suatu hari di serambi Grand Hotel (Hotel Garuda) seorang tamu berkebangsaan Inggris terlihat duduk di halaman hotel sambil melihat Malioboro yang sibuk dan ramai orang berlalulalang. Diantara yang berlalulang tersebut adalah Si Gembel Ki Ageng dengan pakaiannya yang khas. Tamu orang Inggris tersebut rupanya tertarik demi melihat keunikan Ki Ageng, karena rasa ingin tahunya maka dipanggilnya jongos hotel untuk mendatangkan si gembel. Jongos yang bernama Joyokeling disebut demikian karena orangnya tinggi hitam, sehingga dipanggil Keling karena mirip orang Keling. Joyokeling dijanjikan si tamu Inggris uang sebesar 10 gulden bila dapat mendatangkan si gembel kehadapan si orang Inggris ini.
Dalam hati Joyokelingpun bertanya-tanya, kepentingan apakah si orang Ingris ini dengan Ki Ageng? Karena sampai rela mengeluarkan sejumlah uang demi bertemu dengan Ki Ageng. Sambil berlari-lari kecil maka Joyokeling ini mengejar Ki Ageng yang barusaja lewat depan Grand hotel, anehnya makin dikejar makin jauh pula jarak antar Ki Ageng dengan Joyokeling tersebut. Hingga setelah beberapa lama mengejar akhirnya hilanglah Ki Ageng dari pandangan Joyokeling. Demi besarnya hadiah yang dijanjikan maka Joyokeling pantang menyerah, dicarinya Ki Ageng ditempat-tempat yang biasa dikunjungi termasuk di rumahnya di Tukangan akan tetapi hasilnya nihil. Setelah sekian lama berupaya mencari akan tetapi tidak berhasil juga ditemukan, maka dengan kecewa kembalilah Joyokeling ke hotel impiannya mendapat rejeki nomplo f 10 sirna, jumlah tersebut cukup besar karena gajinya sebulan yang sebesar f 12,5.
Setibanya di hotel disampaikanlah kepada orang Inggris tersebut, bahwa dirinya tidak berhasil mengejar Ki Ageng akan tetapi bila tuan membutuhkan pertolongannya saya bias antar kerumahnya. Kata orang Inggris “apa yang jongos maksud dengan pertolongan? Apakah yang si gembel bisa lakukan untuk menolong ?pertolongan apa yang bias dia lakukan untuk saya?
Kata Joyo” mungkin tuan membutuhkan pertolongan penyembuhan suatu penyakit, atau tuan punya kesulitan dalam pekerjaan ataupun perdagangan, atau kesulitan di dlam rumahtangga atau lain keperluan mungkin Ki ageng dapat menolong.
Kata orang Inggris tersebut “ o, kalau itu semua yang jongos maksudkan, aku tidak yakin semua, kalu aku sakit dokter ada dan dapat mengobati penyakit, kesulitan urusan pekerjaan atau perdagangan aku punya pembantu yang jauh sangat mengetahui urusan itu, dan mereka sangat memuaskan untuk saya ajak berpikir dalam pekerjaan. Kesulitan dalam rumahtangga aku dapat datangkan penasehat yang berpengalaman menangani masalah rumah tangga. Dan itu semua tidak mungkin dapat si gembel yang lewat tadi lakukan".
Kata Joyokeling “jadi, apa yang tuan maksudkan, sehingga tuan berani membayar sepuluh gulden bila saya berhasil mendatangkan Ki Ageng Prawira Purba dihadapan tuan?”.
Jawab orang Inggris “ yang saya ingin tahu dan saya ingin bertanya kepada gembel tadi, cara dia berpakain memang asli demikian atau meniru cara orang lain?”.
Kata Joyokeling ”aneh juga pertanyaan yang tuan maksudkan, urusan pakaian gembel sampai begitu jauh tuan ingin mengetahui bahkan tuan berani bayar sepuluh gulden, saya kira suatu hal yang tidak mengena sasaran bila tuan bermaksud demikian itu. Tetapi mestinya ada hal yang lebih menarik dan menjadi perhatian tuan dengan si gembel.
Jawab orang Inggris “betul, ada rahasianya yang menjadi pertanyaanku selama ini. Seminggu yang lalu waktu aku berada di Singapura, tepat waktu kapal akan bertolak aku sempat melihat si gembel mondar-mandir di dermaga Singapura. Cara dia berjalan, bahkan pakaian yang dipakai gembel persis yang dipakai orang tadi. Kalau ada duanya saya piker tidak akan sama benar, sebab yang satu ada di seberang lautan. Tetapi kalau itu satu-satunya yang aku lihat tempo yang lalu aku kira tidak mungkin, sebab tidak ada kapal lain yang lebih cepat daripada yang aku tumpangi. Kalu dia memakai kendaraan lain lantas pakai apa dia kemari? Dan itu semua tetap tidak mungkin.
Kata Joyo “kalau hanya sekedar itu yang tuan inginkan kiranya tidak perlu susah mencari orang tersebut untuk didatangkan kemari. Jawaban yang benar akan maksud tuan justru orangnya yang itu juga yang tuan telah lihat di Singapura. Namanya Raden Bekel Prawira Purba dan jangan anggap dia gembel, sebenarnya apasaja yang dia kehendaki banyak yang terjadi, bahkan kejadiannya serba tidak masuk diakal dan diluar batas kemampuan manusia biasa. Kalau tuan ingin tahu keanehan yang lain tuan dapat bertanya kepada tuan-tuan Belanda di Karesidenan atau Gupernuran mereka banyak tahu bagaimana RB Prawira Purba menunjukkan kebisaannya dihaapan tamu-tamu undangan di pendapa Keraton, bagaimana kursi-kursi dapat jalan sendiri menyusun secara rapih.
Tanggapan tamu Inggris
Memang serba aneh orang Hindia Belanda ini, khayalan mereka terlalu berlebihan seperti dalam impian saja. Biar bagaimanapun juga aku belum dapat percaya semua mimpi-mimpi itu. Kecuali kalau aku dapat menyaksikan kejadian yang sebenarnya. Bagaimana mungkin orang lain bias lebih cepat tiba di Jawa daripada perjalanan yang aku tempuh, padahal dia gembel bagaimana mungkin naik kendaraan lain yang lebih cepat dari kapal yang aku tumpangi.
Peristiwa tersebut tetap menjadi misteri bagi orang Inggris tersebut, tetapi banyak orang di Yogyakarta yakin bahwa sosok gembel yang ada di Singapura tersebut tak lain adalah Ki Ageng Prawira Purba.
repost kaskus TS "mdiwse"
Kisah Ndoro Purba Cucu HB VI part 11
Hajaran bagi orang Jahat
Ki Ageng Prawira Purba adalah sosok yang sudah lepas dari ikatan duniawi, dia melakukan sesuatu jika memang karena dia menginginkannya dan bukan karena hal tersebut pantas untuk dilihat, ataupun hal tersebut untuk memenuhi kepantasan pandangan masyarakat umum. Dia senang hidup bebas, bisa dilihat dari cara berpakaian yang aneh. Ki Ageng juga betah duduk berjam-jam pada suatu tempat apabila dia memang sedang berkenan untuk itu.
Pada suatu hari Ki Ageng sedang duduk di jalan Jogonegaran tanpa ada yang memperhatikan. Sambil terus duduk tangannya tidak berhenti menyusuri jubahnya mencari kutu-kutu baju yang memang banyak terdapat di bajunya. Karena jarang menganti baju maka wajar saja apabila banyak kutu di baju beliau. Saking asiknya mencari kutu, sampai sabuk beserta timang (timang adalah kepala ikat pinggang dan jaman dahulu terutama pada bangsawan masih terbuat dari emas bahkan ditatah intan berlian) ikut dibuka. Sambil tangannya berkelana mencari kutu mata beliaupun terpejam menikmati suasana sambil menahan kantuk.
Tanpa disadari ada seseorang yang mengendap-endapdengan sangat perlahan mengambil timang tersebut. Setelah berhasil mengambil timang, maka si copetpun bergegas kabur dari situ. Cepat-cepat dia pergi ke daerah Kricak untuk menjual hasil curiannya tersebut kerumah seorang tukang gadai. Akan tetapi pada saat barang tersebut akan diserahkan, terjadi keanehan yaitu timang tersebut lengket ditangan si pencopet dan tidak dapat lepas dari tangannya. Sekian lama berusaha untuk melepas timang tersebut, tetap saja tidak berhasil. Akhirnya dengan menahan rasa takut si pencopet tersebut kembali mendatangi Ki Ageng Prawira Purba untuk meminta maaf atas perbuatannya tersebut. Ternyata tingkah laku pencopet tersebut diketahui oleh Ki Ageng, terbukti saat dia dating langsung mendapat sorot mata tajam dari Ki Ageng. Pencopetpun mendatangi sambil terus menyembah minta maaf sambil mengembalikan barang curiannya, barulah timang tersebut dapat lepas dari tangan si pencopet.
Tamu dari Dogongan
Dirumah Ki Ageng di daerah Tukangan sedang berkumpul Nyai Kasihan beserta Surip dan beberapa orang pengikut. Saat itu datang tamu sepasang penganten baru dari daerah dogongan Imogiri. Tamu tersebut adalah Pak Wangsa dan Mbok Wangsa. Mbok Wangsa yang memiliki nama kecil Cumik memiliki penyakit aneh yaitu sering mengigau seperti orang gila, akan tetapi yang sering disebut adalah makam keramat, antara lain Jalasutra, Jimatan, dll. Suami isteri Wangsa tersebut datang ke Ki Ageng untuk memohon bantuan dan doa agar penyakit sang istri dapat sembuh. Oleh Ki Ageng sepasang tamu tersebut disambut dengan baik dan beliau berkata “mboten, Cumik mboten sakit, kuat,kuat,kuat” tanpa melakukan hal lain dan keduanya dipersilahkan pulang.
Beberapa waktu kemudian Ki Ageng Prawira Purba tiba-tiba telah duduk di halaman rumah pak Wonso di Dogongan.Kehadiran ini mengejutkan keluarga Pak Wangsa, segera Ki Ageng dipersilahkan untuk masuk kedalam, akan tetapi tawaran tersebut ditolak. Akhirnya Pak Wangsa mengambil tikar untuk digunakan sebagai alas duduk Ki Ageng di halaman akan tetapi sekali lagi ditolak, Ki Ageng cukup puas duduk beralaskan getepe (anyaman daun kelapa ) di halaman rumah. Kembali tuan rumah menawarkan untuk duduk didalam rumah, Ki Ageng menolak dan menjawab “Kula niki naming cantrik janaloka, sampun wonten ngriki kemawon” (bahasa jawa halus : saya ini hanya abdi rendah,sudah disini saja..sebenarnya dari beberapa kisah tentang beliau, Ki Ageng merupakan seorang yang rendah hati, dengan status sosial beliau sebagai ningrat/bangsawan tapi beliau menggunakan bahasa jawa halus untuk berhadapan dengan rakyat jelata)”.
Selesai berbasa-basi kemudian Ki Ageng berdiri melihat-lihat, setelah beberapa saat berhenti di suatu sudut maka dipanggillah tuan rumah dan dianjurkannya agar membuat sumur pada tanah yang ditunjuk tadi. Setelah itu Ki Ageng segera pulang dengan meninggalkan pesan agar Pak Wangsa mengadakan selamatan di tempat makam-makam keramat sesuai yang dikatakan isterinya saat sakit. Sebagai rakyat jelata pada saat itu, kedatangan seorang bangsawan dan mempunyai kelebihan/kesaktian maka keluarga Wangsa sangat tersanjung didatangi Ki Ageng. Upaya-upaya untuk memuliakan tamu dan membalas budipun tidak diterima oleh Ki Ageng, maka sebagai ungkapan rasa hormat dan terimakasih kepaa beliau yang dapat dilakukan jeluarga Wangsa adalah melaksanakan segala perintah Ki Ageng.
Tempat yang ditunjuk segera dibuat sumur, sebagai gambaran pada saat itu letak geografis Dogongan yang agak tinggi dengan tanah kapur agak sulit untuk membuat sumur. Umumnya pembuatan sumur disitu memerlukan kedalaman lebih dari 20 meter, akan tetapi ditempat yang ditunjuk oleh Ki Ageng tersebut dapat dibuat sumur dan ditemukan mata air pada kedalaman 7 meter. Pembuatan sumurpun selesai dan mata airnya sangat jernih.
Setelah pembuatan sumur, maka pak Wangsa melaksanakan selamatan di Jimatan makam Imogiri. Setiba dari Imogiri pak Wangsa langsung menimba sumur dengan maksud hendak membersihkan diri setelah berjalan, akan tetapi ketika timba mencapai air dilihatnya sesuatu barang yang mengeluarkan cahaya gemerlap di dasar sumur.
Adapun setelah mengikuti petunjuk Ki Ageng Prawira Purba kini Cumik sehat kembali, bahkan sudah mengandung. Bersama kesembuhannya terlihat tanda-tanda kelebihan pada dirinya. Pada suatu kesempatan Pak Wangsa sekeluarga mengunjungi Ki Ageng Prawira Purba sebagai ucapan terimakasih sekaligus melaporkan telah melaksanakan selamatan di Jimatan Imogiri, serta melaporkan peristiwa terlihatnya cahaya gemerlap pada dasar sumur, dan juga melaporkan perubahan yang dialami Cumik. Terhadap semua hal tersebut, dimohonkan petunjuk Ki Ageng Prawira Purba.
Atas seluruh laporan tersebut, Ki Ageng berkata kepada Cumik “panjenengan punapa kinten-kinten kersa nampi katresnaning saderek? (apakah kira-kira anda berkenan menerima kecintaan/kesayangan dari para saudara?) dan dijawab oleh Cumik “benjang kemawon menawi jabang bay sampun lahir”(nanti saja bila si bayi telah lahir).
Waktupun berlalu, hingga suatu hari di Dogongan terlihat seseorang yang sakit ingatan berlari-lari dari arah utara dan ketika sampai di halaman rumah Pak Wangsa orang tersebut entah sengaja atau tidak langsung terjun ke dalam sumur. Penduduk pun beramai-ramai menolong orang yang tercemplung ke dalam sumur tersebut, namun anehnya setelah korban sudah berada di darat dia sadar dan sembuh dari penyakit ingatan tersebut. Setelah ditanyakan identitas dan tempat tinggalnya, si korban berasal dari kalangan terhormat dan merupakan putra Raden Ngabehi Proyowiyogo.
Sejak saat itu gemparlah berita tentang Sumur Dogongan yang berkhasiat dapat menyembuhkan orang gila. Kejadian tersebut bersamaan dengan mbok Wangsa melahirkan bayi dan diberi nama Grudug, hal tersebut berkenaan dengan datangnya warga dari berbagai pelosok dan beramai-ramai mendatangi Sumur dogongan (grudug=gemrudug/datang beramai-ramai). Ki Ageng yang mendengar berita tersebut juga datang ketempat tersebut untuk mewisuda mbok Wangsa sesuai pertanyaan Ki Ageng sebelumnya untuk menerima katresnaning sederek dan yang dimaksud disini adalah menerima tamu.
Diluar dugaan, betapa sibuk mbok Wangsa menerima tamu siang malam yang gemrudug membanjir mendatangi sumur tersebut. Sejak saat itu mbok Wangsa atau juga ibu Grudug menjadi kasepuhan yang menjaga sumur bertuah di Dogongan Imogiri. Menurut keterangan mbok Wangsa grudug banjir tamu hanya berlangsung selama satu setengah tahun, adapun keramat sumur tersebut adalah wahyu Syekh Subakir dari Tidar. Dari perkembangan tahun ke tahun bu Grudug juga mendapat nama Nyai Sarimulya dari Kanjeng ratu Ayu Mangkubumi. Dari Kanjeng Suryonegara Surakarta pernah mendapat penghargaan payung kebesaran atau payung Agung. Demi rasa terimakasih yang mendalam, setelah kepergian Ki Ageng ke rahmat Allah, pak Wangsa melanjutkan pengabdiannya sebagai juru kunci makam Ki Ageng sampai akhir hayatnya.
repost kaskus TS "mdiwse"
Ki Ageng Prawira Purba adalah sosok yang sudah lepas dari ikatan duniawi, dia melakukan sesuatu jika memang karena dia menginginkannya dan bukan karena hal tersebut pantas untuk dilihat, ataupun hal tersebut untuk memenuhi kepantasan pandangan masyarakat umum. Dia senang hidup bebas, bisa dilihat dari cara berpakaian yang aneh. Ki Ageng juga betah duduk berjam-jam pada suatu tempat apabila dia memang sedang berkenan untuk itu.
Pada suatu hari Ki Ageng sedang duduk di jalan Jogonegaran tanpa ada yang memperhatikan. Sambil terus duduk tangannya tidak berhenti menyusuri jubahnya mencari kutu-kutu baju yang memang banyak terdapat di bajunya. Karena jarang menganti baju maka wajar saja apabila banyak kutu di baju beliau. Saking asiknya mencari kutu, sampai sabuk beserta timang (timang adalah kepala ikat pinggang dan jaman dahulu terutama pada bangsawan masih terbuat dari emas bahkan ditatah intan berlian) ikut dibuka. Sambil tangannya berkelana mencari kutu mata beliaupun terpejam menikmati suasana sambil menahan kantuk.
Tanpa disadari ada seseorang yang mengendap-endapdengan sangat perlahan mengambil timang tersebut. Setelah berhasil mengambil timang, maka si copetpun bergegas kabur dari situ. Cepat-cepat dia pergi ke daerah Kricak untuk menjual hasil curiannya tersebut kerumah seorang tukang gadai. Akan tetapi pada saat barang tersebut akan diserahkan, terjadi keanehan yaitu timang tersebut lengket ditangan si pencopet dan tidak dapat lepas dari tangannya. Sekian lama berusaha untuk melepas timang tersebut, tetap saja tidak berhasil. Akhirnya dengan menahan rasa takut si pencopet tersebut kembali mendatangi Ki Ageng Prawira Purba untuk meminta maaf atas perbuatannya tersebut. Ternyata tingkah laku pencopet tersebut diketahui oleh Ki Ageng, terbukti saat dia dating langsung mendapat sorot mata tajam dari Ki Ageng. Pencopetpun mendatangi sambil terus menyembah minta maaf sambil mengembalikan barang curiannya, barulah timang tersebut dapat lepas dari tangan si pencopet.
Tamu dari Dogongan
Dirumah Ki Ageng di daerah Tukangan sedang berkumpul Nyai Kasihan beserta Surip dan beberapa orang pengikut. Saat itu datang tamu sepasang penganten baru dari daerah dogongan Imogiri. Tamu tersebut adalah Pak Wangsa dan Mbok Wangsa. Mbok Wangsa yang memiliki nama kecil Cumik memiliki penyakit aneh yaitu sering mengigau seperti orang gila, akan tetapi yang sering disebut adalah makam keramat, antara lain Jalasutra, Jimatan, dll. Suami isteri Wangsa tersebut datang ke Ki Ageng untuk memohon bantuan dan doa agar penyakit sang istri dapat sembuh. Oleh Ki Ageng sepasang tamu tersebut disambut dengan baik dan beliau berkata “mboten, Cumik mboten sakit, kuat,kuat,kuat” tanpa melakukan hal lain dan keduanya dipersilahkan pulang.
Beberapa waktu kemudian Ki Ageng Prawira Purba tiba-tiba telah duduk di halaman rumah pak Wonso di Dogongan.Kehadiran ini mengejutkan keluarga Pak Wangsa, segera Ki Ageng dipersilahkan untuk masuk kedalam, akan tetapi tawaran tersebut ditolak. Akhirnya Pak Wangsa mengambil tikar untuk digunakan sebagai alas duduk Ki Ageng di halaman akan tetapi sekali lagi ditolak, Ki Ageng cukup puas duduk beralaskan getepe (anyaman daun kelapa ) di halaman rumah. Kembali tuan rumah menawarkan untuk duduk didalam rumah, Ki Ageng menolak dan menjawab “Kula niki naming cantrik janaloka, sampun wonten ngriki kemawon” (bahasa jawa halus : saya ini hanya abdi rendah,sudah disini saja..sebenarnya dari beberapa kisah tentang beliau, Ki Ageng merupakan seorang yang rendah hati, dengan status sosial beliau sebagai ningrat/bangsawan tapi beliau menggunakan bahasa jawa halus untuk berhadapan dengan rakyat jelata)”.
Selesai berbasa-basi kemudian Ki Ageng berdiri melihat-lihat, setelah beberapa saat berhenti di suatu sudut maka dipanggillah tuan rumah dan dianjurkannya agar membuat sumur pada tanah yang ditunjuk tadi. Setelah itu Ki Ageng segera pulang dengan meninggalkan pesan agar Pak Wangsa mengadakan selamatan di tempat makam-makam keramat sesuai yang dikatakan isterinya saat sakit. Sebagai rakyat jelata pada saat itu, kedatangan seorang bangsawan dan mempunyai kelebihan/kesaktian maka keluarga Wangsa sangat tersanjung didatangi Ki Ageng. Upaya-upaya untuk memuliakan tamu dan membalas budipun tidak diterima oleh Ki Ageng, maka sebagai ungkapan rasa hormat dan terimakasih kepaa beliau yang dapat dilakukan jeluarga Wangsa adalah melaksanakan segala perintah Ki Ageng.
Tempat yang ditunjuk segera dibuat sumur, sebagai gambaran pada saat itu letak geografis Dogongan yang agak tinggi dengan tanah kapur agak sulit untuk membuat sumur. Umumnya pembuatan sumur disitu memerlukan kedalaman lebih dari 20 meter, akan tetapi ditempat yang ditunjuk oleh Ki Ageng tersebut dapat dibuat sumur dan ditemukan mata air pada kedalaman 7 meter. Pembuatan sumurpun selesai dan mata airnya sangat jernih.
Setelah pembuatan sumur, maka pak Wangsa melaksanakan selamatan di Jimatan makam Imogiri. Setiba dari Imogiri pak Wangsa langsung menimba sumur dengan maksud hendak membersihkan diri setelah berjalan, akan tetapi ketika timba mencapai air dilihatnya sesuatu barang yang mengeluarkan cahaya gemerlap di dasar sumur.
Adapun setelah mengikuti petunjuk Ki Ageng Prawira Purba kini Cumik sehat kembali, bahkan sudah mengandung. Bersama kesembuhannya terlihat tanda-tanda kelebihan pada dirinya. Pada suatu kesempatan Pak Wangsa sekeluarga mengunjungi Ki Ageng Prawira Purba sebagai ucapan terimakasih sekaligus melaporkan telah melaksanakan selamatan di Jimatan Imogiri, serta melaporkan peristiwa terlihatnya cahaya gemerlap pada dasar sumur, dan juga melaporkan perubahan yang dialami Cumik. Terhadap semua hal tersebut, dimohonkan petunjuk Ki Ageng Prawira Purba.
Atas seluruh laporan tersebut, Ki Ageng berkata kepada Cumik “panjenengan punapa kinten-kinten kersa nampi katresnaning saderek? (apakah kira-kira anda berkenan menerima kecintaan/kesayangan dari para saudara?) dan dijawab oleh Cumik “benjang kemawon menawi jabang bay sampun lahir”(nanti saja bila si bayi telah lahir).
Waktupun berlalu, hingga suatu hari di Dogongan terlihat seseorang yang sakit ingatan berlari-lari dari arah utara dan ketika sampai di halaman rumah Pak Wangsa orang tersebut entah sengaja atau tidak langsung terjun ke dalam sumur. Penduduk pun beramai-ramai menolong orang yang tercemplung ke dalam sumur tersebut, namun anehnya setelah korban sudah berada di darat dia sadar dan sembuh dari penyakit ingatan tersebut. Setelah ditanyakan identitas dan tempat tinggalnya, si korban berasal dari kalangan terhormat dan merupakan putra Raden Ngabehi Proyowiyogo.
Sejak saat itu gemparlah berita tentang Sumur Dogongan yang berkhasiat dapat menyembuhkan orang gila. Kejadian tersebut bersamaan dengan mbok Wangsa melahirkan bayi dan diberi nama Grudug, hal tersebut berkenaan dengan datangnya warga dari berbagai pelosok dan beramai-ramai mendatangi Sumur dogongan (grudug=gemrudug/datang beramai-ramai). Ki Ageng yang mendengar berita tersebut juga datang ketempat tersebut untuk mewisuda mbok Wangsa sesuai pertanyaan Ki Ageng sebelumnya untuk menerima katresnaning sederek dan yang dimaksud disini adalah menerima tamu.
Diluar dugaan, betapa sibuk mbok Wangsa menerima tamu siang malam yang gemrudug membanjir mendatangi sumur tersebut. Sejak saat itu mbok Wangsa atau juga ibu Grudug menjadi kasepuhan yang menjaga sumur bertuah di Dogongan Imogiri. Menurut keterangan mbok Wangsa grudug banjir tamu hanya berlangsung selama satu setengah tahun, adapun keramat sumur tersebut adalah wahyu Syekh Subakir dari Tidar. Dari perkembangan tahun ke tahun bu Grudug juga mendapat nama Nyai Sarimulya dari Kanjeng ratu Ayu Mangkubumi. Dari Kanjeng Suryonegara Surakarta pernah mendapat penghargaan payung kebesaran atau payung Agung. Demi rasa terimakasih yang mendalam, setelah kepergian Ki Ageng ke rahmat Allah, pak Wangsa melanjutkan pengabdiannya sebagai juru kunci makam Ki Ageng sampai akhir hayatnya.
repost kaskus TS "mdiwse"
Subscribe to:
Posts (Atom)